Jakarta (ANTARA) - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengatakan produk biologi sudah merajai pasar global, dengan cakupan obat-obatan biologi sebesar 65 persen, dan sebagiannya adalah produk-produk medis untuk terapi tingkat lanjut yang diperkirakan akan menjadi tren.

Kepala BPOM Taruna Ikrar menyebutkan, produk-produk medis untuk terapi tingkat lanjut (advanced therapy medicinal products) memberikan harapan besar untuk penyembuhan melalui pengobatan yang terukur, presisi, dan persisten. Dia mengutip dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), tren penyakit sudah berubah, dari yang mayoritas infeksius menjadi non-infeksius.

"Kematian kalau menurut rata-rata penyakit di dunia itu 71 persen disebabkan oleh penyakit non-infeksi. Sementara kalau di Indonesia, bahkan jauh lebih besar, 73 persen kematian di Indonesia disebabkan oleh penyakit non-infeksi," katanya dalam siaran di Jakarta, Senin.

Dia menjelaskan, produk medis untuk terapi lebih lanjut mencakup produk-produk berbasis terapi sel, terapi genetik, dan rekayasa jaringan. Dia mencontohkan, rekayasa jaringan dapat digunakan untuk menumbuhkan organ baru, dan bermanfaat untuk transplantasi organ yang berdiri sendiri, seperti liver.

Selain itu, dia menilai hal itu juga dapat mengatasi masalah seperti mencari donor serta penolakan organ oleh tubuh.

Menurutnya, produk-produk biologi seperti itu tidak seperti obat sintetis, yang hanya menyembuhkan gejala.

"Kalau tekanan darahnya tinggi bagaimana dikasih chemical untuk dia bisa baik melengket pada reseptor alpha atau betanya, atau beta blockernya, supaya menurunkan tekanan darah. Tapi itu kan simptomatik, tidak menyembuhkan," ujar dia mencontohkan.

Karena itu, katanya, akhirnya para pasien ketergantungan hingga akhir hayatnya. Menurut dia, hal tersebut berdampak pada ekonomi, di mana mayoritas pembiayaan dikucurkan untuk mengobati penyakit-penyakit non-infeksius itu.

Taruna menilai ada peluang yang besar sekali untuk investasi dan riset guna mengembangkan produk-produk biologi.

"Tapi memang kita masih struggle untuk melakukan riset, karena ini ilmu masih berkembang. Itu yang pertama. Yang kedua, dalam konteks yang kita sebut dengan business plan, maka perusahaan-perusahaan saatnya menginvest di bidang ini, jangan terlambat," katanya.

Dia menjelaskan, saat ini di Indonesia baru ada empat perusahaan yang mendapatkan sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) untuk sel terapi ini.

Oleh karena itu, pihaknya berkomitmen untuk mengembangkan ilmu tersebut, dengan mengajak pemangku kepentingan seperti perusahaan, industri, akademisi, dan publik untuk membantu mencapainya.

Baca juga: Ilmuwan sembuhkan pasien diabetes tipe 1 via terapi CiPSC-islet
Baca juga: Peneliti China pelajari terapi bakteri untuk obati kanker usus besar