Jakarta (ANTARA) - Komnas Perempuan menyampaikan, perspektif dan penyikapan proaktif dari aparat penegak hukum (APH), pendamping, dan semua pihak yang memanggul tanggung jawab dalam UU TPKS menjadi kunci bagi pemenuhan hak-hak korban kekerasan seksual (KS).

Wakil Ketua Komnas Perempuan Olivia Chadidjah Salampessy mengatakan, Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) pada dasarnya memiliki banyak terobosan, terutama karena memfokuskan pada pemenuhan hak korban. Namun masih terdapat tantangan di dalam implementasinya.

“Namun terobosan tersebut tampaknya masih sulit dinikmati oleh korban mengingat untuk melaporkan pun sudah sebuah tantangan tersendiri. Ketika telah dilaporkan pun, tidak mudah bagi korban untuk dapat mengakses hak-haknya,” kata Olivia dalam sambutannya saat “Pembukaan dan Pelatihan Penghapusan Kekerasan Seksual” di Jakarta, Senin.

Oleh sebab itu, untuk membangun kesepahaman serta menguatkan perspektif dan keterampilan dari semua pemangku tanggung jawab UU TPKS, Komnas Perempuan menginisiasi Akademi Penghapusan Kekerasan Seksual (APKS).

Gagasan itu, ujar Olivia, dilakukan sejak setahun yang lalu bersama jejaring masyarakat sipil. Belajar dari penanganan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang telah berlangsung selama dua dekade, dia menegaskan bahwa ruang kesepahaman lintas-sektor sangatlah peting.

“APKS adalah ruang belajar kita semua yang perlu lebih maju dalam memahami situasi korban kekerasan seksual dari sudut pandang penegak hukum, pemberi layanan, serta pendamping korban baik yang berasal dari pemerintah maupun masyarakat guna memastikan korban mendapatkan hak-haknya secara genuine sebagaimana amanah konstitusi kita,” kata Olivia.

Berbeda dari tahun lalu, APKS tahun ini akan mendalami isu penyiksaan seksual yang merupakan salah satu dari sembilan jenis kekerasan seksual yang diatur secara spesifik dalam UU TPKS. Hal ini penting mengingat Indonesia merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi konvensi antipenyiksaan melalui UU Nomor 5 Tahun 1998 dan konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan melalui UU Nomor 7 Tahun 1984.

“Langkah hukum inilah yang digunakan untuk melaksanakan pemantauan, termasuk pencarian fakta dan pendokumentasian kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran HAM perempuan serta penyebarluasan hasil pemantauan pada publik dan pengambil langkah-langkah yang mendorong pertanggungjawaban dan penanganannya termasuk penyiksaan seksual,” jelas Olivia.

Bagi Komnas Perempuan, tegas Olivia, pemahaman yang lebih baik mengenai penyiksaan seksual sangatlah penting. Apalagi Komnas Perempuan merupakan lembaga HAM nasional dengan amanat spesifik untuk penghapusan segala bentuk kekerasan pada perempuan.

Ia mengatakan, isu penyiksaan memang bukan suatu isu yang baru. Tetapi yang menjadi pekerjaan rumah adalah sejauh mana pemangku kepentingan memiliki kesepahaman terkait dengan isu tersebut dan kaitannya dengan kekerasan seksual.

Isu-isu tersebut akan didalami bersama dalam kegiatan APKS yang berlangsung mulai 7 Oktober 2024 secara daring hingga 16-21 Oktober mendatang secara luring di Jakarta. APKS ini diikuti oleh 55 peserta dari wilayah Sumatera Utara, Jawa Barat, Sulawesi Tengah dan Selatan, Bali, dan Maluku dari berbagai unsur.

“Di dalam proses belajar nanti, studi kasus bisa menjadi salah satu pendekatan yang dapat kita gunakan untuk memahami kedekatan kedua isu ini antara kekerasan seksual dan penyiksaan. Pengalaman di tingkat APH, pemberi layanan pemulihan korban, dan pendamping korban diharapkan jadi ruang belajar efektif untuk memahami lebih dekat tentang kedua isu ini,” demikian jelas Olivia.

Baca juga: Komnas koordinasi kawal kasus kekerasan seksual oknum DPRD Singkawang
Baca juga: Komnas: Kembangkan pengetahuan untuk inovasi pencegahan kekerasan
Baca juga: Komnas Perempuan: Ada 103 korban TPKS berakibat kehamilan sejak 2018