Jakarta (ANTARA News) - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai saksi untuk kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait dengan penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) tahun 2013 pada Kementerian Energi Sumber Daya Mineral oleh Komisi VII.

"Saya diminta oleh KPK untuk memberi klarifikasi mengenai tata cara penentuan harga gas. Intinya itu," kata Jero di gedung KPK Jakarta, Senin.

Jero tiba di gedung KPK sekitar pukul 10.30 WIB ditemani sejumlah ajudan. "Nanti setelah selesai saya sampaikan lagi," tambah Jero.

Jero membantah mengetahui penyuapan dalam kasus itu. "Tidak," jawab Jero singkat.

Kepala Bagian Pemberitaan dan Informasi KPK Priharsa Nugraha mengatakanJero diperiksa untuk Direktur PT Kaltim Parna Industri (KPI) Artha Meris Simbolon.

"Yang bersangkutan diperiksa untuk tersangka AMS (Artha Meris Simbolon)," kata Priharsa.

Dalam dakwaan mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini, Artha Meris disebut memberikan 522,5 ribu dolar AS kepada Rudi melalui pelatih golfnya, Deviardi.

Alasan pemberian uang adalah agar Rudi bersedia memberikan rekomendasi untuk menurunkan formula harga gas PT KPI kepada Kementerian ESDM.

Artha Meris sudah pernah menjadi saksi dalam sidang Rudi pada 11 Februari lalu membantah memberikan uang tersebut.

Ia hanya mengaku berkorespondensi dengan Kementerian ESDM karena mengeluhkan perusahaannya dianaktirikan Kementerian ESDM dalam perselisihan PT KPI dengan PT Kaltim Pasifik Amoniak.

Artha Meris disangkakan melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau pasal 13 UU No 31/1999 jo UU No 20/2001 mengenai pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, dengan ancaman pidana penjara maksimal 5 tahun dan denda Rp250 juta.