Telaah
Peran TNI dalam Pilkada 2024
Oleh Masuki M. Astro
7 Oktober 2024 08:37 WIB
Sejumlah personel TNI AD mengikuti apel gabungan gelar pasukan pengamanan Pemilu Operasi Praja Pallawa 2024-2025 di Mapolda Sulsel, Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (31/7/2024). Operasi Mantap Praja Pallawa 2024--2025 tersebut bertujuan mengamankan pelaksanaan Pilkada 2024 yang berlangsung selama 138 hari, mulai 1 Agustus hingga 16 Desember 2024, dengan pengerahan 15 ribu personel di seluruh wilayah Polda Sulawesi Selatan yang didukung oleh TNI, instansi terkait, dan mitra kamtibmas lainnya. ANTARA FOTO/Hasrul Said/YU/nz
Bondowoso (ANTARA) - Melihat performa Tentara Nasional Indonesia (TNI) saat ini, tidak perlu diragukan lagi bagaimana kekuatannya. Kekuatan itu bisa dilihat pada keterampilan prajuritnya yang disegani oleh pasukan negara-negara lain di dunia maupun alat utama sistem senjata (alutsista) TNI yang makin lengkap dan canggih.
Menjaga kedaulatan negara dari serangan musuh atau negara lain bukan satu-satunya tugas TNI karena masih ada tugas-tugas lain yang melekat padanya. Tugas menjaga kedaulatan dari serangan negara lain masuk dalam kategori operasi militer untuk perang (OMP). Di luar itu, ada juga tugas operasi militer selain perang (OMSP) yang melekat pada TNI.
Di beberapa daerah rawan, prajurit TNI telah menunjukkan tanggung jawabnya untuk menyukseskan jalannya pesta demokrasi, misalnya, untuk pengantaran surat suara yang melewati daerah berbahaya, seperti sungai besar atau daerah yang rawan tindak kejahatan.
Sementara itu, antara tugas operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang sejatinya memiliki tujuan yang sama, yakni demi melindungi kedaulatan negara dan mempertahankan keutuhan wilayah.
Saat ini, bangsa Indonesia menghadapi "gawe" besar dalam berdemokrasi, yakni Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 yang digelar secara serentak, baik untuk pemilihan gubernur, bupati, maupun wali kota. Pilkada yang akan digelar pada 27 November 2024 itu meliputi 508 kabupaten/kota dan 37 provinsi.
Menjaga keamanan wilayah dan ketertiban di masyarakat juga menjadi tanggung jawab TNI, selain yang berada di garda terdepan terkait tugas tersebut adalah personel Polri. Meskipun demikian, gangguan keamanan di suatu wilayah, sejatinya merupakan ancaman terhadap kedaulatan negara karena bisa saja kasus kekacauan di suatu wilayah akan meluas ke wilayah lainnya. Dalam ranah inilah kehadiran TNI betul-betul dibutuhkan demi terselenggaranya pilkada yang aman dan damai.
Karena itu, sebagaimana diingatkan oleh Presiden Joko Widodo pada HUT Ke-79 TNI, prajurit Tentara Nasional Indonesia diminta selalu menjaga netralitas dalam menghadapi Pilkada 2024. Netral adalah satu-satunya hak yang disediakan oleh konstitusi untuk dipedomani dan dijadikan pegangan para prajurit TNI dalam menghadapi gelaran pesta demokrasi.
Dengan menjunjung tinggi netralitas, maka bagi seorang prajurit TNI tidak ada pilihan lain, kecuali berjuang bersama semua komponen bangsa untuk terciptanya keadaan yang damai dan tenteram di masyarakat.
Dengan bersikap netral, prajurit TNI akan mampu "mencium" adanya gelagat di masyarakat yang mengancam keamanan negara dari suatu wilayah, bahkan di tingkatkan administratif pemerintahan paling rendah, yakni tingkat desa atau rukun tetangga (RT) serta rukun warga (RW).
Menghadapi gelaran pilkada yang saat ini memasuki tahapan kampanye, prajurit TNI harus bersatu padu dengan personel kepolisian, termasuk masyarakat, untuk menjaga setiap sudut dan wilayah di negeri ini agar terhindar dari gangguan keamanan, baik pemicu itu berasal dari masyarakat pemilih maupun dari para calon pemimpin daerah yang berlaga atau dari para pendukung calon.
Tulisan ini tidak hendak menggarami lautan dengan mengajari prajurit TNI mengendus adanya ancaman gangguan keamanan dan ketertiban. Saling mengingatkan dan bersikap antisipatif terhadap semua keadaan adalah cara terbaik untuk menjaga negeri ini tetap aman, rukun, dan damai sejahtera.
Berbaur dengan berbagai kalangan adalah cara paling populer dan familier bagi prajurit TNI untuk menghimpun informasi mengenai kondisi keamanan, termasuk potensi ancaman di suatu wilayah. Berbagai kalangan itu bisa tokoh masyarakat maupun tokoh agama.
Sebagai ajang perebutan kursi kekuasaan, pilkada tidak jarang dianggap sebagai pertaruhan harga diri para calon, tidak terkecuali para pendukungnya. Karena itu, segala cara, termasuk yang melanggar hukum, bisa ditempuh oleh seseorang atau sekelompok orang untuk meraih kemenangan dalam pilkada. Motif atau niat seperti ini yang harus diwaspadai bersama oleh semua elemen bangsa sehingga pilkada betul-betul tersaji sebagai sebuah pesta yang dipenuhi dengan suasana riang dan gembira.
Praktik menghalalkan segala cara bisa menjadi ancaman bagi kedaulatan negara karena dapat menjadi pemicu konflik antarkelompok di masyarakat.
Jika kesatupaduan sikap dan tindakan mampu diwujudkan oleh prajurit TNI bersama dengan Polri serta seluruh elemen masyarakat, maka semua potensi kekacauan yang akan mendompleng ajang pilkada itu hanya ada di potensi yang tidak pernah menjadi realitas aktual.
Menghadapi gejolak warga yang penuh semangat agar dirinya atau calon yang didukungnya menang, prajurit TNI tidak memerlukan senjata berpeluru. Justru senjata terampuh adalah sikap rendah hati dan jiwa merangkul. Kalau dalam khazanah Jawa ada istilah "ngeluruk tanpo bolo" alias menyerang tanpa pasukan. Dalam konteks pengamanan pilkada, yang diserang oleh prajurit TNI adalah hatinya warga. Hati warga "diserang" hingga luluh dan rela mengedepankan nurani untuk mendukung terciptanya keadaan aman.
Istilah lainnya dalam ajaran Jawa yang nilai filosofinya sangat tinggi terkait dengan tugas keprajuritan adalah "menang tanpo ngasorake" alias menang tanpa merendahkan atau tidak ada yang merasa dikalahkan. Pada akhirnya, kemenangan prajurit TNI dalam menjaga keamanan selama gelaran pilkada adalah kemenangan kita bersama sebagai bangsa.
Bagi rakyat, siapa pun yang menang dalam pilkada harus kita terima dan dukung hingga pasangan pemimpin daerah itu mampu menyelesaikan tugas kepemimpinannya selama 5 tahun ke depan.
Setelah pilkada selesai dan pemenang telah ditetapkan, semua warga harus kembali ke aktivitas rutin mereka untuk memenuhi nafkah keluarga. Bagi yang petani kembali ke sawah, yang aparatur negara kembali ke tugas kenegaraannya, demikian juga bagi pelajar untuk kembali fokus ke pelajaran. Bagi yang berbeda pilihan dukungan dengan saudaranya atau dengan tetangganya, kembali tetap bersaudara dan bertetangga. Prajurit TNI dan personel Polri kembali ke markasnya masing-masing untuk melaksanakan tugas berikutnya.
Kemenangan prajurit TNI dalam menjaga dan mengajak warga untuk bersama-sama memelihara keamanan adalah upaya-upaya "peperangan" yang nirsenjata. Inilah salah satu kekuatan ampuh yang dimiliki oleh prajurit TNI sehingga selalu meninggalkan kesan berharga saat ditugaskan di berbagai medan konflik dalam peran mulianya sebagai tentara utusan PBB. Cerita berkesan yang ditinggalkan oleh Kontingen Garuda (Konga) ini sudah sangat terkenal di berbagai negara, bahkan kepulangan prajurit TNI ke Indonesia ditangisi oleh penduduk di mana TNI ditugaskan.
Kalau di negeri orang mereka piawai mengambil hati warga, di negeri sendiri, tugas itu tentunya lebih mudah diwujudkan. Selamat bertugas mengantarkan pilkada aman dan damai para prajurit TNI dan Polri.
Editor: Achmad Zaenal M
Menjaga kedaulatan negara dari serangan musuh atau negara lain bukan satu-satunya tugas TNI karena masih ada tugas-tugas lain yang melekat padanya. Tugas menjaga kedaulatan dari serangan negara lain masuk dalam kategori operasi militer untuk perang (OMP). Di luar itu, ada juga tugas operasi militer selain perang (OMSP) yang melekat pada TNI.
Di beberapa daerah rawan, prajurit TNI telah menunjukkan tanggung jawabnya untuk menyukseskan jalannya pesta demokrasi, misalnya, untuk pengantaran surat suara yang melewati daerah berbahaya, seperti sungai besar atau daerah yang rawan tindak kejahatan.
Sementara itu, antara tugas operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang sejatinya memiliki tujuan yang sama, yakni demi melindungi kedaulatan negara dan mempertahankan keutuhan wilayah.
Saat ini, bangsa Indonesia menghadapi "gawe" besar dalam berdemokrasi, yakni Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 yang digelar secara serentak, baik untuk pemilihan gubernur, bupati, maupun wali kota. Pilkada yang akan digelar pada 27 November 2024 itu meliputi 508 kabupaten/kota dan 37 provinsi.
Menjaga keamanan wilayah dan ketertiban di masyarakat juga menjadi tanggung jawab TNI, selain yang berada di garda terdepan terkait tugas tersebut adalah personel Polri. Meskipun demikian, gangguan keamanan di suatu wilayah, sejatinya merupakan ancaman terhadap kedaulatan negara karena bisa saja kasus kekacauan di suatu wilayah akan meluas ke wilayah lainnya. Dalam ranah inilah kehadiran TNI betul-betul dibutuhkan demi terselenggaranya pilkada yang aman dan damai.
Karena itu, sebagaimana diingatkan oleh Presiden Joko Widodo pada HUT Ke-79 TNI, prajurit Tentara Nasional Indonesia diminta selalu menjaga netralitas dalam menghadapi Pilkada 2024. Netral adalah satu-satunya hak yang disediakan oleh konstitusi untuk dipedomani dan dijadikan pegangan para prajurit TNI dalam menghadapi gelaran pesta demokrasi.
Dengan menjunjung tinggi netralitas, maka bagi seorang prajurit TNI tidak ada pilihan lain, kecuali berjuang bersama semua komponen bangsa untuk terciptanya keadaan yang damai dan tenteram di masyarakat.
Dengan bersikap netral, prajurit TNI akan mampu "mencium" adanya gelagat di masyarakat yang mengancam keamanan negara dari suatu wilayah, bahkan di tingkatkan administratif pemerintahan paling rendah, yakni tingkat desa atau rukun tetangga (RT) serta rukun warga (RW).
Menghadapi gelaran pilkada yang saat ini memasuki tahapan kampanye, prajurit TNI harus bersatu padu dengan personel kepolisian, termasuk masyarakat, untuk menjaga setiap sudut dan wilayah di negeri ini agar terhindar dari gangguan keamanan, baik pemicu itu berasal dari masyarakat pemilih maupun dari para calon pemimpin daerah yang berlaga atau dari para pendukung calon.
Tulisan ini tidak hendak menggarami lautan dengan mengajari prajurit TNI mengendus adanya ancaman gangguan keamanan dan ketertiban. Saling mengingatkan dan bersikap antisipatif terhadap semua keadaan adalah cara terbaik untuk menjaga negeri ini tetap aman, rukun, dan damai sejahtera.
Berbaur dengan berbagai kalangan adalah cara paling populer dan familier bagi prajurit TNI untuk menghimpun informasi mengenai kondisi keamanan, termasuk potensi ancaman di suatu wilayah. Berbagai kalangan itu bisa tokoh masyarakat maupun tokoh agama.
Sebagai ajang perebutan kursi kekuasaan, pilkada tidak jarang dianggap sebagai pertaruhan harga diri para calon, tidak terkecuali para pendukungnya. Karena itu, segala cara, termasuk yang melanggar hukum, bisa ditempuh oleh seseorang atau sekelompok orang untuk meraih kemenangan dalam pilkada. Motif atau niat seperti ini yang harus diwaspadai bersama oleh semua elemen bangsa sehingga pilkada betul-betul tersaji sebagai sebuah pesta yang dipenuhi dengan suasana riang dan gembira.
Praktik menghalalkan segala cara bisa menjadi ancaman bagi kedaulatan negara karena dapat menjadi pemicu konflik antarkelompok di masyarakat.
Jika kesatupaduan sikap dan tindakan mampu diwujudkan oleh prajurit TNI bersama dengan Polri serta seluruh elemen masyarakat, maka semua potensi kekacauan yang akan mendompleng ajang pilkada itu hanya ada di potensi yang tidak pernah menjadi realitas aktual.
Menghadapi gejolak warga yang penuh semangat agar dirinya atau calon yang didukungnya menang, prajurit TNI tidak memerlukan senjata berpeluru. Justru senjata terampuh adalah sikap rendah hati dan jiwa merangkul. Kalau dalam khazanah Jawa ada istilah "ngeluruk tanpo bolo" alias menyerang tanpa pasukan. Dalam konteks pengamanan pilkada, yang diserang oleh prajurit TNI adalah hatinya warga. Hati warga "diserang" hingga luluh dan rela mengedepankan nurani untuk mendukung terciptanya keadaan aman.
Istilah lainnya dalam ajaran Jawa yang nilai filosofinya sangat tinggi terkait dengan tugas keprajuritan adalah "menang tanpo ngasorake" alias menang tanpa merendahkan atau tidak ada yang merasa dikalahkan. Pada akhirnya, kemenangan prajurit TNI dalam menjaga keamanan selama gelaran pilkada adalah kemenangan kita bersama sebagai bangsa.
Bagi rakyat, siapa pun yang menang dalam pilkada harus kita terima dan dukung hingga pasangan pemimpin daerah itu mampu menyelesaikan tugas kepemimpinannya selama 5 tahun ke depan.
Setelah pilkada selesai dan pemenang telah ditetapkan, semua warga harus kembali ke aktivitas rutin mereka untuk memenuhi nafkah keluarga. Bagi yang petani kembali ke sawah, yang aparatur negara kembali ke tugas kenegaraannya, demikian juga bagi pelajar untuk kembali fokus ke pelajaran. Bagi yang berbeda pilihan dukungan dengan saudaranya atau dengan tetangganya, kembali tetap bersaudara dan bertetangga. Prajurit TNI dan personel Polri kembali ke markasnya masing-masing untuk melaksanakan tugas berikutnya.
Kemenangan prajurit TNI dalam menjaga dan mengajak warga untuk bersama-sama memelihara keamanan adalah upaya-upaya "peperangan" yang nirsenjata. Inilah salah satu kekuatan ampuh yang dimiliki oleh prajurit TNI sehingga selalu meninggalkan kesan berharga saat ditugaskan di berbagai medan konflik dalam peran mulianya sebagai tentara utusan PBB. Cerita berkesan yang ditinggalkan oleh Kontingen Garuda (Konga) ini sudah sangat terkenal di berbagai negara, bahkan kepulangan prajurit TNI ke Indonesia ditangisi oleh penduduk di mana TNI ditugaskan.
Kalau di negeri orang mereka piawai mengambil hati warga, di negeri sendiri, tugas itu tentunya lebih mudah diwujudkan. Selamat bertugas mengantarkan pilkada aman dan damai para prajurit TNI dan Polri.
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024
Tags: