Jakarta (ANTARA) - Hanya butuh waktu satu tahun bagi Israel untuk menghilangkan nyawa 41 ribu orang Palestina. Sejak 7 Oktober 2023 hingga setahun kemudian, tak ada yang berubah kecuali jumlah korban meninggal dunia.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengiyakan hal ini. Membandingkan dengan kondisi setahun lalu, ia menyebut situasi rakyat Palestina di Gaza sungguh sulit dibayangkan.

“Mereka berada dalam neraka dunia yang makin hari makin memburuk kondisinya,” kata Guterres dalam Pertemuan Tingkat Menteri dalam Mendukung UNRWA, Badan PBB untuk Pengungsi Palestina, 26 September.

Di “neraka dunia” inilah hampir 97 ribu warga Gaza mengalami luka-luka. Sementara dua juta orang harus mengungsi dari tempat tinggal mereka ke kamp yang hanya seluas Bandara Internasional Shanghai, menurut Guterres.

Yang kini jadi soal, bahkan pemimpin PBB pun mengaku tak berdaya melakukan upaya.

“Konon ‘PBB tidak dibentuk untuk membawa kami ke surga, melainkan untuk menyelamatkan kami dari neraka.’ Sayangnya, PBB atau siapapun yang memiliki kuasa untuk melakukannya tidak mampu menyelamatkan warga Gaza dari neraka itu,” ucap Guterres.

Kecaman demi kecaman dilontarkan, seruan demi seruan dilontarkan, bahkan desakan demi desakan tak kurang banyak mengisi ruang-ruang pertemuan tingkat tinggi PBB.

Namun, menandai satu tahun serangan besar-besaran di Gaza, ketegangan malah dieskalasi oleh serangan udara Israel ke Lebanon.

Lagi-lagi masyarakat sipil gugur menjadi korban. Serangan intensif dalam sekitar dua pekan menewaskan lebih dari 2.000 nyawa, menurut Kementerian Kesehatan Lebanon. Ratusan perempuan dan anak-anak di antara mereka.

Muncul kesan pesimistis bahwa konflik tak mampu diredam segera, terlebih dengan masuknya Iran ke dalam pusaran konflik. Namun setidaknya Indonesia berdiri tegak pada posisinya: tak henti mendukung Palestina sejak hari pertama.

Setiap kali bicara dalam forum PBB, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi membawa serta isu Palestina. Bahkan ketika “ngobrol” bilateral dengan rekan dari negara lain, ia menggalang solidaritas dukungan untuk Gaza.

Tawaran solusi Indonesia

Pada sekian banyak pertemuan sepanjang High-Level Week Sidang ke-79 Majelis Umum PBB di New York, Amerika Serikat, akhir September lalu, Indonesia kian galak menyuarakan gencatan senjata di Gaza, kemerdekaan bagi Palestina.

Dan sebelum jauh-jauh ke sana, hal utama yang seharusnya dilakukan oleh negara-negara dunia adalah mengakui Negara Palestina. Dari 193 negara anggota PBB, 146 di antaranya telah menyatakan pengakuan resmi.

“Mayoritas anggota PBB mendukung Solusi Dua Negara. Inilah waktu yang tepat untuk mewujudkannya. Mengakui Negara Palestina setidaknya menjadi hal yang bisa kita lakukan sekarang,” kata Menlu.

“Ini untuk memberikan Bangsa Palestina mimbar yang setara di dunia serta menekan Israel agar menghentikan kekejaman mereka. Maka, saya mendesak negara-negara yang belum mengakui Negara Palestina untuk melakukan sekarang juga!”

Seiring dengan dorongan atas pengakuan itu, bantuan kemanusiaan ke Gaza tidak boleh terputus. Namun, fakta di lapangan justru sebaliknya. Padahal, bantuan akan menyambung hidup warga yang banyak haknya dirampas.

Komisioner Jenderal UNRWA, Badan PBB untuk Pengungsi Palestina, Philippe Lazzarini menyebut terjadi bencana kelaparan di Gaza. Dan itu akibat blokade yang digencarkan Israel.

Pada Agustus, lebih dari 1 juta orang di Gaza tidak mendapatkan jatah bantuan makanan. Pada September, angkanya melonjak jadi lebih dari 1,4 juta orang.

“Sedangkan lebih dari 100.000 metrik ton pasokan makanan terlantar di luar Gaza karena adanya pembatasan akses, ketidakamanan, jalanan rusak, plus kekacauan hukum dan ketertiban,” tulis Lazzarini dalam cuitan di X.

Dua bentuk dukungan harus diberikan kepada UNRWA, menurut Menlu Retno.

Dukungan politis memberikan sokongan moral. UNRWA diberikan mandat untuk membantu situasi di Palestina, sehingga tak boleh ada tekanan politik yang mengganggu kerjanya. Karena itulah “ancaman terhadap UNRWA adalah ancaman bagi kemanusiaan.”

Dukungan pendanaan memastikan operasional terus berjalan. Indonesia telah memberi contoh dengan melipatgandakan kontribusi kepada UNRWA di tahun ini. Bukan hanya Pemerintah, masyarakat juga bergerak memberi bantuan melalui Baznas, misalnya.

Langkah struktural juga menjadi sasaran. Indonesia menuntut reformasi di tubuh Dewan Keamanan, karena dianggap tak bertaring untuk menghentikan penjajahan Palestina—dan berbagai masalah global lainnya.

Dengan segala upaya lewat berbagai cara, Indonesia telah mengambil langkah diplomasi maksimal sesuai koridornya. Lalu, sejauh mana Dewan Keamanan berusaha?

“Bola ada di Dewan Keamanan PBB, terutama pemegang hak veto, mereka bisa menghasilkan keputusan yang dapat menghentikan kekejaman Israel,” kata Retno Marsudi.

Tercatat pada April tahun ini, misalnya, hak veto dikeluarkan Amerika Serikat saat Dewan Keamanan menggelar pemungutan suara terkait keanggotaan penuh Palestina di PBB.

Hak veto itu tentu saja menjadi hambatan, bahkan menarik mundur lagi satu langkah Palestina menuju kemerdekaan.

Suara Palestina



Presiden Palestina Mahmoud Abbas. ANTARA/Anadolu/py
“Kami menyesalkan Pemerintah Amerika Serikat memveto tiga resolusi Dewan Keamanan yang menyerukan gencatan senjata kepada Israel,” ujar Presiden Palestina Mahmoud Abbas di hadapan Majelis Umum PBB.

“Dan lebih daripada itu, Amerika memasok Israel dengan senjata mematikan yang membunuh ribuan anak, perempuan, dan lansia tak bersalah,” kata dia, melanjutkan.

Forum sebesar Sidang Umum PBB yang jadi sorotan seluruh dunia digunakan banyak pihak sebagai etalase posisi politiknya. Tentu, tidak terkecuali Palestina.

Pidato Presiden Abbas dalam sesi Debat Umum, 26 September, menekankan soal perjuangan Bangsa Palestina bertahan di tanah yang mereka tinggali sejak dulu, untuk menghentikan Israel melakukan pendudukan ilegal dengan kejahatan perang.

“Seluruh dunia bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada rakyat di Gaza, juga di Tepi Barat. Mereka yang menjadi target serangan Israel setiap harinya.”

Sebanyak 12 poin disampaikan Abbas sebagai visi Palestina, juga bentuk permohonan kepada masyarakat dunia.

Satu, gencatan senjata yang menyeluruh dan permanen di Jalur Gaza, juga penghentian serangan militer di Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Dua, masuknya bantuan kemanusiaan.

Tiga, penarikan menyeluruh pasukan Israel dari Jalur Gaza. Empat, perlindungan bagi UNRWA dan organisasi kemanusiaan lainnya. Lima, perlindungan internasional bagi masyarakat Palestina.

Enam, Negara Palestina mendapat tanggung jawab pengelolaan di Jalur Gaza. Tujuh, pembangunan kembali Jalur Gaza dan segala infrastruktur di dalamnya.

Delapan, peneguhan otoritas Negara Palestina di seluruh wilayah Palestina dalam persiapan pemilihan umum. Sembilan, dukungan internasional untuk menjadikan Palestina anggota penuh PBB.

Sepuluh, implementasi penuh resolusi Majelis Umum terkait opini hukum Mahkamah Internasional menuju akhir pendudukan dalam 12 bulan.

Sebelas, menggelar konferensi perdamaian internasional untuk menerapkan Solusi Dua Negara.

Dua belas, mengadopsi resolusi Dewan Keamanan mengenai pasukan perdamaian di antara Negara Palestina dan Israel.

Jangan jadi new normal

Perdamaian selalu menjadi kata kunci, bukan hanya dilontarkan oleh Palestina sendiri, tapi juga oleh Indonesia dan banyak negara dunia lain yang mendukungnya.

Memulai perdamaian itu berarti menghentikan genosida. Sebagaimana dinyatakan oleh banyak delegasi Majelis Umum PBB, jangan sampai segala kekerasan dan pembunuhan massal yang terjadi di Gaza menjadi sebuah kenormalan baru, new normal.

Meskipun masa depan masih suram, harapan tetap ada. Konflik di Gaza satu tahun terakhir seharusnya tak lagi terjadi di tahun-tahun berikutnya. Sayang sekali bahwa masyarakat Palestina bertahan hidup dari hari ke hari.

Maka, mengutip Menlu Retno di hadapan Dewan Keamanan, kita tidak perlu jauh-jauh mencari masa depan dunia yang aman dan damai, karena perdamaian harusnya bisa dimulai saat ini juga bagi Bangsa Palestina.