Anas pertanyakan kucuran uang untuk jadi Ketum Demokrat
6 Juni 2014 23:21 WIB
Nota Keberatan Anas Urbaningrum Terdakwa kasus gratifikasi proyek Hambalang Anas Urbaningrum membacakan nota keberatan (eksepsi) atas surat dakwaan Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (6/6). (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma)
Jakarta (ANTARA News) - Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum mempertanyakan data yang digunakan jaksa penuntut umum dalam surat dakwaannya terkait kucuran uang hingga miliaran rupiah yang bersal dari komisi proyek di berbagai kementerian dan Badan Usaha Milik Negara untuk memenangkan posisi ketua umum dalam Kongres Partai Demokrat pada Mei 2010.
"Saya juga didakwa menerima uang Rp84,5 miliar dari M Nazaruddin atau Permai Grup dan 36.070 dolar AS untuk keperluan pencalonan ketua umum Partai Demokrat, jika benar asumsinya Permai Grup adalah kantong dana saya, maka tidak ada yang salah kalau seseorang mengambil dana dari kantongnya sendiri," kata Anas saat membacakan nota keberatan (eksepsi) dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat
Nota keberatan itu ditulis tangan oleh Anas dalam 30 halaman dan dibacakan dengan berdiri selama sekitar 1 jam di hadapan majelis hakim yang dipimpin Haswandi dan disaksikan sejumlah pendukungnya dari Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI).
Selanjutnya Anas juga mengaku bahwa tidak ada posko khusus pendukung Anas dan rapat pencalonan dirinya berpindah-pindah sesuai kondisi, salah satunya tempat M Nazaruddin untuk pertemuan yaitu apartemen Senayan City yang juga digunakan untuk kegiatannya Nazaruddin.
"Dakwaan yang menyebutkan ada pertemuan 513 BPC (Badan Pengurus Cabang) di apartemen Senayan City, dan juga ada pertemuan lain sebanyak 430 BPC, padahal 40 kapasitas maksimal apartemen 15 orang, kalau bertemu 150 orang saja perlu 15 pertemuan. Padahal dalam peserta kongres hanya 1 DPP, 33 DPD dan 496 DPC jadi kalau ada DPC jumlahnya 513 ditambah 430 DPC artinya 943 DPC, tentu data yang disebutkan tidak valid," tambah Anas.
Anas mengaku bahwa pertemuan dengan DPC-DPC baik di Jakarta maupun di daerah ia lakukan sebagai bakal calon Ketua Umum tidak sampai 300 DPC baik di Jakarta maupun daerah.
Anas kembali mempertanyakan mengenai rincian 460 DPC disebut dapat uang saku, penyebutan biaya siaran live stasiun TV, biaya event organizer, biaya pembelian handphone, biaya komunikasi yang tidak jelas perinciannya.
"Semua tidak jelas, kabur dan tidak berdasar data yang benar, jumlah DPC berubah-ubah dan nama-nama koordinator yang membagikan dana dibantah sendiri dengan contoh-contoh DPC yang menerima 13 nama yang disebutkan semua keterangannya berbeda-beda. Angka yang sangat misterius apalagi disebutkan bahwa semua adalah perintah saya, itu tindakan yang sangat tidak berdasar," tambah Anas.
Mengenai dakwaan penerimaan mobil Toyota Harrier B 15 AUD senilai Rp670 juta dari Anugerah Grup, Anas mengaku bahwa mobil tersebut adalah mobil sebelum ia menjadi anggota DPR.
"Ada pula dakwaan yang menyebukan saya menerima penerimaan-penerimaan lain seperti fasilitas survei dan mobil Vellfire, perlu saya sampaikan saya tidak pernah memesan survei dan berjanji akan memberikan survei pilkada ke LSI karena itu situasi yang dipaksakan. Jika Denny JA yang mau membantu saya dengan caranya sendiri tapi dimasukkan ke gratifikasi, dan vellfire yang diberikan dari sahabat saya setelah mundur dari anggota DPR tentu upaya hukum yang berlebih-lebihan," ungkap Anas.
Dalam perkara ini, Anas diduga menerima "fee" sebesar 7-20 persen dari Permai Grup yang berasal dari proyek-proyek yang didanai APBN dalam bentuk 1 unit mobil Toyota Harrier senilai Rp670 juta, 1 unit mobil Toyota Vellfire seharga Rp735 juta, kegiatan survei pemenangan Rp478,6 juta dan uang Rp116,52 miliar dan 5,26 juta dolar AS dari berbagai proyek.
Anas juga diduga melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU harta kekayaannya hingga mencapai Rp23,88 miliar.
(D017/A029)
"Saya juga didakwa menerima uang Rp84,5 miliar dari M Nazaruddin atau Permai Grup dan 36.070 dolar AS untuk keperluan pencalonan ketua umum Partai Demokrat, jika benar asumsinya Permai Grup adalah kantong dana saya, maka tidak ada yang salah kalau seseorang mengambil dana dari kantongnya sendiri," kata Anas saat membacakan nota keberatan (eksepsi) dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat
Nota keberatan itu ditulis tangan oleh Anas dalam 30 halaman dan dibacakan dengan berdiri selama sekitar 1 jam di hadapan majelis hakim yang dipimpin Haswandi dan disaksikan sejumlah pendukungnya dari Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI).
Selanjutnya Anas juga mengaku bahwa tidak ada posko khusus pendukung Anas dan rapat pencalonan dirinya berpindah-pindah sesuai kondisi, salah satunya tempat M Nazaruddin untuk pertemuan yaitu apartemen Senayan City yang juga digunakan untuk kegiatannya Nazaruddin.
"Dakwaan yang menyebutkan ada pertemuan 513 BPC (Badan Pengurus Cabang) di apartemen Senayan City, dan juga ada pertemuan lain sebanyak 430 BPC, padahal 40 kapasitas maksimal apartemen 15 orang, kalau bertemu 150 orang saja perlu 15 pertemuan. Padahal dalam peserta kongres hanya 1 DPP, 33 DPD dan 496 DPC jadi kalau ada DPC jumlahnya 513 ditambah 430 DPC artinya 943 DPC, tentu data yang disebutkan tidak valid," tambah Anas.
Anas mengaku bahwa pertemuan dengan DPC-DPC baik di Jakarta maupun di daerah ia lakukan sebagai bakal calon Ketua Umum tidak sampai 300 DPC baik di Jakarta maupun daerah.
Anas kembali mempertanyakan mengenai rincian 460 DPC disebut dapat uang saku, penyebutan biaya siaran live stasiun TV, biaya event organizer, biaya pembelian handphone, biaya komunikasi yang tidak jelas perinciannya.
"Semua tidak jelas, kabur dan tidak berdasar data yang benar, jumlah DPC berubah-ubah dan nama-nama koordinator yang membagikan dana dibantah sendiri dengan contoh-contoh DPC yang menerima 13 nama yang disebutkan semua keterangannya berbeda-beda. Angka yang sangat misterius apalagi disebutkan bahwa semua adalah perintah saya, itu tindakan yang sangat tidak berdasar," tambah Anas.
Mengenai dakwaan penerimaan mobil Toyota Harrier B 15 AUD senilai Rp670 juta dari Anugerah Grup, Anas mengaku bahwa mobil tersebut adalah mobil sebelum ia menjadi anggota DPR.
"Ada pula dakwaan yang menyebukan saya menerima penerimaan-penerimaan lain seperti fasilitas survei dan mobil Vellfire, perlu saya sampaikan saya tidak pernah memesan survei dan berjanji akan memberikan survei pilkada ke LSI karena itu situasi yang dipaksakan. Jika Denny JA yang mau membantu saya dengan caranya sendiri tapi dimasukkan ke gratifikasi, dan vellfire yang diberikan dari sahabat saya setelah mundur dari anggota DPR tentu upaya hukum yang berlebih-lebihan," ungkap Anas.
Dalam perkara ini, Anas diduga menerima "fee" sebesar 7-20 persen dari Permai Grup yang berasal dari proyek-proyek yang didanai APBN dalam bentuk 1 unit mobil Toyota Harrier senilai Rp670 juta, 1 unit mobil Toyota Vellfire seharga Rp735 juta, kegiatan survei pemenangan Rp478,6 juta dan uang Rp116,52 miliar dan 5,26 juta dolar AS dari berbagai proyek.
Anas juga diduga melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU harta kekayaannya hingga mencapai Rp23,88 miliar.
(D017/A029)
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014
Tags: