Jakarta (ANTARA) - Indonesia dinilai perlu tambahan pasokan listrik seiring dengan meningkatnya konsumsi listrik pascapandemi COVID-19 dan juga mendukung target pertumbuhan ekonomi.

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Prof. Dr. Telisa Aulia Falianty menjelaskan bahwa situasi demand dan supply listrik tidak bersifat statis, melainkan dinamis, yaitu dengan pertumbuhan ekonomi digital dan tren mobil listrik sebagai pendorong utama.

"Perkembangan ekonomi digital yang sangat pesat, ditambah dengan tren mobil listrik akan menjadi faktor yang meningkatkan permintaan terhadap listrik secara signifikan. Jadi, istilah oversupply tidak benar," kata Telisa dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.

Ia mengatakan bahwa saat ini masyarakat mengalami peningkatan konsumsi listrik yang sejalan dengan pemulihan ekonomi. Telisa juga mengingatkan bahwa seiring dengan kenaikan permintaan, perlu ada langkah konkret untuk membuat pembangkit listrik.

Sementara itu, Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jisman P. Hutajulu juga menyebut kebutuhan listrik terus meningkat. Ia pun menyebut bahwa kondisi kelistrikan saat ini tidak pas jika disebut oversupply.

"Pertumbuhannya cukup tinggi ya," ujar Jisman.

Bahkan, kata dia, dengan sasaran pertumbuhan ekonomi 8 persen, tentu pasokan listrik juga harus didorong lebih besar lagi. Oleh karena itu, rencana usaha penyediaan tenaga listrik​​​​​​​ (RUPTL) 2024 harus mengakomodir kebutuhan tersebut.

Untuk diketahui, sejak Indonesia berhasil lepas dari pandemi COVID-19, berbagai sektor kembali beroperasi normal, termasuk industri-industri.

Dampak positif dari ekonomi yang normal kembali, permintaan terhadap listrik justru mengalami peningkatan signifikan. Hal itu tentu harus diantisipasi oleh semua pihak guna memastikan pasokan listrik aman dalam beberapa bulan ke depan, 2025, dan bahkan tahun-tahun mendatang.

Sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengungkapkan pemerintah bakal menggenjot konsumsi listrik per kapita hingga 6.500 kilowatt per hour (kWh).

Dalam Opening Ceremony The 10th Indonesia International Geothermal Convention & Exhibition (IIGCE) 2024 beberapa waktu lalu, Bahlil menyampaikan target itu dipatok untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen per tahun di era pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Saat ini, target konsumsi listrik per kapita hanya di kisaran 4.000 kWh-5.000 kWh. Angka tersebut dinilai hanya mampu mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen.

"Jadi, kami target konsumsi listrik per kapita kemarin di angka 4.000 sampai 5.0000 (kWh), tetapi itu kita lihat pertumbuhan ekonominya hanya sampai dengan 5 persen," kata Bahlil.

Dewan Energi Nasional (DEN) sendiri telah menghitung jika konsumsi listrik per kapita hanya ditargetkan sebesar 5.500 kWh, maka pertumbuhan ekonomi hanya bisa tercapai sebesar 6 persen per tahun.

"Saya sebagai Ketua Harian DEN sudah memutuskan kalau di angka 5.500 kWh itu hanya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi 6 persen," ujarnya.

Oleh sebab itu, pemerintah memutuskan untuk mendorong konsumsi listrik per kapita setidaknya di angka 6.000 kWh hingga 6.500 kWh untuk mewujudkan target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen yang dicanangkan pemerintahan Prabowo-Gibran.

"Ini sejalan dengan arah kebijakan Pak Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Mas Gibran. Jadi, nanti kita breakdown dia di RUPTL, seterusnya ini nanti Dirut PLN, kita akan bicarakan," kata Bahlil.

Baca juga: Wartsila: EBT harus sediakan 89 persen pasokan listrik demi capai NZE
Baca juga: PLN pastikan pelaksanaan F8 akan menggunakan energi hijau