Jakarta (ANTARA) - Peneliti Pusat Riset Teknologi Proses Radiasi BRIN Henni Widyastuti memandang perlu adanya pengembangan data komoditas atau produk indikasi geografis (IG) yang potensial untuk dilindungi sebagai langkah awal untuk mencegah pemalsuan pangan (food fraud).

Henni mengingatkan, Indonesia merupakan rumah dari berbagai macam biodiversitas yang di antaranya menjadi sumber pangan tradisional asli (indigenous food) bagi kelompok masyarakat tertentu. Banyak di antara komoditas pangan itu berpotensi mendapatkan sertifikasi IG karena nilai ekonomi yang tinggi, namun di sisi lain komoditas tersebut juga rentan terhadap tindak pemalsuan pangan.

“Dari data tersebut, kita bisa membuatnya prioritas perlindungan terhadap produk-produk yang harus kita lindungi terlebih dahulu. Karena dia potensial secara ekspor atau memiliki potensi ekonomi yang lain,” kata Henni dalam webinar di Jakarta, Jumat.

Sebagai informasi, produk IG merupakan sistem sertifikasi yang digunakan untuk melindungi produk-produk pangan yang terkait dengan lokasi geografis tertentu, termasuk metode produksi dan bahan bakunya.

Produk IG termasuk kekayaan intelektual yang menjadi salah satu Program Prioritas Nasional sejak tahun 2020 hingga 2024 dan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016. Hingga saat ini, jelas Henni, sudah ada total sebanyak 162 produk yang tersertifikasi melalui IG dan sekitar 90 persen dari produk-produk tersebut merupakan produk pangan.

“Contohnya ada Kopi Gayo, Kopi Toraja, Lada Putih Muntok, Pala Tomandin Fakfak, Kopi Kintamani, dan lain sebagainya,” ujar Henni.

Ia mengingatkan, produk pangan dengan klaim IG merupakan produk-produk yang berkualitas tinggi sehingga rawan terhadap pemalsuan. Kini, dengan pemanfaatan teknologi nuklir untuk mendeteksi pemalsuan pangan, klaim IG pada produk-produk premium itu dapat semakin dikukuhkan.

“Umumnya, produk pangan yang dilindungi oleh PDO atau IG ini merupakan produk-produk yang berkualitas tinggi sehingga rawan terhadap pemalsuan. Jadi teknologi nuklir ini dapat membantu untuk mendukung penegakan klien PDO,” kata Henni.

Adapun produk-produk yang telah mendapatkan sertifikasi IG, menurut Henni, juga harus diberdayakan lebih lanjut. Apalagi mengingat pemetaan ekonomi sirkularitas pada produk-produk IG di Indonesia belum maksimal.

Ia menyebutkan, pemanfaatan IG untuk meningkatkan ekonomi sirkularitas juga masih menjadi tantangan yang besar tidak hanya bagi Indonesia tetapi juga negara-negara lainnya.

“Perlu adanya kolaborasi dari berbagai stakeholder untuk memetakan aspek keekonomian dari produk IG yang mencakup aspek keberlanjutan, perlindungan sumber daya alam, serta produksi makanan yang lebih efisien,” kata Henni.

Baca juga: Peneliti: Perlu pertukaran data antarnegara terkait keamanan pangan
Baca juga: BRIN: Teknologi nuklir tawarkan akurasi pendeteksian pemalsuan pangan