Jakarta (ANTARA News) - Sekitar 300 buku, dalam bentuk braille maupun audio, diproduksi setiap tahunnya di bangunan di pojok Jalan Gunung Balong, Jakarta Selatan. Buku yang manfaatnya begitu luar biasa bagi para penyandang tunanetra dari sebuah tempat yang sederhana.

Di sebuah ruangan seluas 3x4 meter, tampak dua orang sedang serius mengetik seraya sesekali membalik lembar halaman buku di pangkuan mereka.

Namun, tulisan yang tampil pada layar bukan huruf latin yang biasa kita lihat. Bagi orang awam, apa yang terlihat seperti kumpulan titik-titik yang sekilas begitu rumit. Itu lah huruf braille yang langsung diterjemahkan saat mereka mengetik di komputer tersebut berkat perangkat lunak Mitranetra Braille Converter (MBC).

Rupanya, mereka sedang menyalin ulang tulisan yang ada dari buku-buku ke dalam tulisan braille agar nantinya bisa dinikmati para tunanetra.

Lalu, hanya terpisahkan oleh sekat kaca, teronggok mesin yang siap mencetak tulisan-tulisan tersebut hingga nantinya menjadi sebuah buku yang utuh.

Ternyata tidak hanya buku braille. Di ruang produksi, begitu ruang itu disebut, mereka membuat buku audio. Biasanya, seorang relawan akan membacakan tulisan yang ada di buku, kemudian direkam dan diperbanyak dalam sebuah CD yang nantinya dapat dinikmati dengan mudah oleh para penyandang tunanetra.

Dengan segala keterbatasan dana serta sumber daya manusia, Yayasan Mitra Netra terus berjuang untuk memproduksi buku braille dan audio. Selain untuk menambah koleksi di Perpustakaan Mitra Netra, buku-buku tersebut juga dihibahkan ke 47 lembaga di seluruh Indonesia yang bekerja di bidang pemberdayaan tunanetra.

Begitulah cara mereka berbagi harapan kepada para penyandang tunanetra. Memberikan secercah harapan lewat buku-buku yang menjadi jendela dunia mereka.

Dari langkah kecil

Buku adalah persoalan bagi penyandang tunanetra. Bagaimana tidak? Jumlah buku yang bisa mereka nikmati masih sangat sedikit, padahal buku bisa menjadi modal mereka untuk mengembangkan diri agar dapat lebih mandiri.

Hal itu mengusik Bambang Basuki (63), Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Netra. Bambang, yang penglihatannya tiba-tiba terenggut saat ia dibangku SMA, tahu betul rasanya hidup berteman gelap.

Namun, ia berhasil melaluinya hingga saat ini tidak hanya menjadi sosok yang mandiri namun juga berguna bagi sekitarnya.

"Menjadi orang buta itu tidak enak. Dan yang paling menyakitkan adalah tidak ada harapan, menjadi beban bagi orang lain, itu yang paling tidak enak," tutur Bambang.

Bambang pun sempat melewati fase-fase depresi dan kehilangan harapan. Sampai akhirnya, ia mampu menghadapi kebutaannya dengan optimisme. Menelan mentah-mentah diskriminasi yang ia alami.

Dengan segala perjuangan, ia lulus kuliah dari jurusan Bahasa Inggris IKIP Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta) kemudian menjadi guru di Sekolah Luar Biasa.

Harapan. Bambang menyebut kata tersebut sebagai modal kekuatannya. Semasa kuliahnya, Bambang memutar otak agar bisa menikmati buku mata kuliah. Dengan segala triknya Bambang bisa membuat temannya mau membacakan buku-buku pelajarannya yang direkam dalam kaset bekas.

Yayasan Mitra Netra ini ia dirikan untuk membangkitkan penyandang tuna netra dari segala keterpurukan mereka hingga menjadi orang-orang yang berguna ditengah masyarakat.

Yayasan yang didirikan tahun 1991 itu terus berkembang dari lembaga rehabilitasi, memberikan pendampingan, menawarkan kursus-kursus seperti kursus komputer dan laptop bicara, bahasa inggris, musik, hingga melangkah lebih besar lagi untuk memproduksi buku-buku bagi penyandang tunanetra.

"Harus ada yang mulai produksi buku untuk tunanetra karena jumlahnya sangat terbatas dengan judul yang itu-itu saja. Apa yang bisa kita lakukan? Kami (penyandang tunanetra) harus melakukan sendiri. Mulai dari langkah yang kecil," terang Bambang.

Ia teringat pada rekaman-rekaman buku kuliahnya. Ia lalu kumpulkan kaset-kaset bekas itu untuk direkam ulang lagi karena tak ada dana untuk membeli kaset yang baru.

"Kami putar orak. Kalau tantangan jadi hambatan ya akan menghambat. Tetapi kalau dijawabnya dengan kecerdasan maka tantangan itu akan beri peluang yang lebih besar. Program buku audio ini dimulai dengan menggunakan kaset bekas," jelasnya.

Tantangan itu belum berhenti karena untuk memproduksi buku braille lebih sulit lagi ketimbang buku audio. Bambang mengungkapkan Yayasan Mitra Netra pun terus berinovasi hingga akhirnya mampu mengembangkan perangkat lunak MBC lewat perjalanan panjang.

Berkat pengembangan yang terus dilakukan dari software buatan Jerman tersebut, kini penerjemahan buku latin ke dalam huruf braille menjadi lebih mudah.

Kini, Perpustakaan Mitra Netra sudah mengoleksi lebih dari 10.000 judul buku dalam tulisan braille, buku audio, dan buku elektronik (e-book).

Persoalan dana masih menjadi tantangan yayasan ini. Pemotongan karyawan sudah dilakukan. Meskipun begitu, Yayasan Mitra Netra tidak pernah lelah untuk berbagi harapan.