BPJS Watch ingatkan percepatan PBI JKN sesuai 6 transformasi kesehatan
4 Oktober 2024 13:20 WIB
Peserta JKN segmen PBI APBN, Joadi saat pelayanan mengaktifkan kepesertaan JKN adiknya di Kantor BPJS Kesehatan Cabang Makassar, pada Kamis (29/9/2022). ANTARA/HO-Dokumentasi BPJS Kesehatan Cabang Makassar.
Jakarta (ANTARA) - Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengingatkan Pemerintah mempercepat penyaluran Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sesuai enam pilar transformasi kesehatan pada Undang-Undang (UU) Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan.
“Jadi pemerintahan ke depan itu wajib memastikan janjinya di UU Nomor 17 tahun 2023 benar-benar dijalankan sesuai dengan enam pilar transformasi kesehatan sehingga mendukung kualitas Jaminan Kesehatan Nasional (JKN),” katanya saat dihubungi di Jakarta, Jumat.
Ia memaparkan, pilar yang pertama yakni transformasi layanan kesehatan, bagaimana peserta PBI JKN dapat dilayani dengan berkualitas di layanan primer, Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), klinik, dan yang paling utama di puskesmas.
“Jadi peserta itu sudah punya layanan JKN, tetapi ketika diperintahkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) nomor 3 tahun 2023, ibu hamil mendapatkan layanan ultrasonografi (USG) minimal enam kali dalam proses kehamilan. Kalau di puskesmasnya enggak ada alat USG-nya gimana? Ini kan persoalan akses, untuk mendapatkan layanan dari janin sampai dia mau melahirkan,” ucapnya.
Baca juga: Kemenkes: Ada lima juta orang antre jadi peserta PBI JKN
Ia menegaskan pentingnya program PBI JKN untuk ditopang seluruh elemen kementerian/lembaga sehingga transformasi kesehatan bisa terwujud.
Pilar kedua, terkait layanan rujukan, yakni bagaimana agar rumah sakit-rumah sakit dapat mengatasi persoalan penyakit-penyakit katastropik seperti tuberkulosis yang semakin meningkat.
“Bagaimana dengan keberadaan rumah sakit tipe A? Semuanya kalau masuk ke RS Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, ya enggak akan bisa. Di Jawa Barat mesti masuk ke RS Hasan Sadikin semua, Adam Malik di Sumatera, artinya kan kemampuan tingkat layanan rujukan ini juga harus diperkuat di RS-RS tipe B,” paparnya.
Pilar ketiga, yakni layanan terkait dengan ketahanan kesehatan, dimana obat dan alat kesehatan sering mengalami masalah distribusi sehingga tidak tersedia di rumah sakit, sehingga pasien harus membeli obat sendiri.
“Maka dari itu JKN banyak orang komplain di obat, demikian juga dengan alat kesehatan,” katanya.
Baca juga: BPJS Kesehatan sebut PBI paling banyak manfaatkan layanan kesehatan
Pilar keempat, yakni tentang sumber daya manusia (SDM) di bidang kesehatan, bagaimana pemerintah harus menjamin spesialis bisa masuk ke RS-RS di daerah, memastikan dokter umum sampai ke pelosok dengan distribusi dan pemerataan yang menjamin layanan JKN ke depan.
“Kalau di puskesmas hanya ada bidan, bagaimana dia bisa mengatasi persoalan penyakit-penyakit yang dia enggak tahu? Melahirkan mungkin bisa bidannya, tetapi tentunya harus ada SDM kesehatan, mulai dari dokter, bidan, perawat, ucapnya.
Kemudian, pilar transformasi kelima tentang pembiayaan kesehatan yang harus memastikan seluruh masyarakat miskin dibiayai dengan PBI.
“Jangan berorientasi pada politik anggaran, misalnya tiba-tiba menonaktifkan kepesertaan PBI, jadi yang sehat itu dinonaktifkan, padahal besok dia sakit, kan kita enggak tahu, jadi enggak dapat layanan,” paparnya.
Selanjutnya, pilar transformasi keenam yakni tentang teknologi kesehatan, di mana para lanjut usia (lansia) mesti bisa mengakses telemedisin melalui JKN.
“Transformasi tentang teknologi kesehatan ini juga harus kita mainkan. Lansia-lansia kita yang menerima JKN juga harus bisa menjangkau telemedisin, teleconsulting, jangan lansia harus ke dokter, datang, jalan jauh, ini kan sudah ada teknologi, dan pembiayaan JKN harus bisa membiayai itu, setelah itu obatnya tinggal menunggu di rumah, enggak usah tebus datang ke rumah sakit untuk nunggu berjam-jam,” tuturnya.
Baca juga: Kemenkes alokasikan Rp46,464 triliun untuk PBI tahun depan
Baca juga: BPJS Watch ingatkan kepala daerah lindungi pekerja badan Ad Hoc
Baca juga: BPJS Watch minta pemerintah tidak benar-benar terapkan iuran pensiun
“Jadi pemerintahan ke depan itu wajib memastikan janjinya di UU Nomor 17 tahun 2023 benar-benar dijalankan sesuai dengan enam pilar transformasi kesehatan sehingga mendukung kualitas Jaminan Kesehatan Nasional (JKN),” katanya saat dihubungi di Jakarta, Jumat.
Ia memaparkan, pilar yang pertama yakni transformasi layanan kesehatan, bagaimana peserta PBI JKN dapat dilayani dengan berkualitas di layanan primer, Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), klinik, dan yang paling utama di puskesmas.
“Jadi peserta itu sudah punya layanan JKN, tetapi ketika diperintahkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) nomor 3 tahun 2023, ibu hamil mendapatkan layanan ultrasonografi (USG) minimal enam kali dalam proses kehamilan. Kalau di puskesmasnya enggak ada alat USG-nya gimana? Ini kan persoalan akses, untuk mendapatkan layanan dari janin sampai dia mau melahirkan,” ucapnya.
Baca juga: Kemenkes: Ada lima juta orang antre jadi peserta PBI JKN
Ia menegaskan pentingnya program PBI JKN untuk ditopang seluruh elemen kementerian/lembaga sehingga transformasi kesehatan bisa terwujud.
Pilar kedua, terkait layanan rujukan, yakni bagaimana agar rumah sakit-rumah sakit dapat mengatasi persoalan penyakit-penyakit katastropik seperti tuberkulosis yang semakin meningkat.
“Bagaimana dengan keberadaan rumah sakit tipe A? Semuanya kalau masuk ke RS Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, ya enggak akan bisa. Di Jawa Barat mesti masuk ke RS Hasan Sadikin semua, Adam Malik di Sumatera, artinya kan kemampuan tingkat layanan rujukan ini juga harus diperkuat di RS-RS tipe B,” paparnya.
Pilar ketiga, yakni layanan terkait dengan ketahanan kesehatan, dimana obat dan alat kesehatan sering mengalami masalah distribusi sehingga tidak tersedia di rumah sakit, sehingga pasien harus membeli obat sendiri.
“Maka dari itu JKN banyak orang komplain di obat, demikian juga dengan alat kesehatan,” katanya.
Baca juga: BPJS Kesehatan sebut PBI paling banyak manfaatkan layanan kesehatan
Pilar keempat, yakni tentang sumber daya manusia (SDM) di bidang kesehatan, bagaimana pemerintah harus menjamin spesialis bisa masuk ke RS-RS di daerah, memastikan dokter umum sampai ke pelosok dengan distribusi dan pemerataan yang menjamin layanan JKN ke depan.
“Kalau di puskesmas hanya ada bidan, bagaimana dia bisa mengatasi persoalan penyakit-penyakit yang dia enggak tahu? Melahirkan mungkin bisa bidannya, tetapi tentunya harus ada SDM kesehatan, mulai dari dokter, bidan, perawat, ucapnya.
Kemudian, pilar transformasi kelima tentang pembiayaan kesehatan yang harus memastikan seluruh masyarakat miskin dibiayai dengan PBI.
“Jangan berorientasi pada politik anggaran, misalnya tiba-tiba menonaktifkan kepesertaan PBI, jadi yang sehat itu dinonaktifkan, padahal besok dia sakit, kan kita enggak tahu, jadi enggak dapat layanan,” paparnya.
Selanjutnya, pilar transformasi keenam yakni tentang teknologi kesehatan, di mana para lanjut usia (lansia) mesti bisa mengakses telemedisin melalui JKN.
“Transformasi tentang teknologi kesehatan ini juga harus kita mainkan. Lansia-lansia kita yang menerima JKN juga harus bisa menjangkau telemedisin, teleconsulting, jangan lansia harus ke dokter, datang, jalan jauh, ini kan sudah ada teknologi, dan pembiayaan JKN harus bisa membiayai itu, setelah itu obatnya tinggal menunggu di rumah, enggak usah tebus datang ke rumah sakit untuk nunggu berjam-jam,” tuturnya.
Baca juga: Kemenkes alokasikan Rp46,464 triliun untuk PBI tahun depan
Baca juga: BPJS Watch ingatkan kepala daerah lindungi pekerja badan Ad Hoc
Baca juga: BPJS Watch minta pemerintah tidak benar-benar terapkan iuran pensiun
Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2024
Tags: