Jakarta (ANTARA News) - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar mencoba menjelaskan mengenai asal harta kekayaannya yang didakwa berasal dari tindak pidana pencucian uang (TPPU).

"Saya sudah coba jelaskan, tapi apakah bapak akan percaya dengan apa yang saya katakan?" kata Akil Mochtar dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.

Akil dalam surat dakwaan KPK disebut menerima Rp63,315 miliar sebagai hadiah terkait pengurusan sembilan sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) di MK, Rp10 miliar dalam bentuk janji untuk satu sengketa pilkada, serta pencucian uang dengan menyamarkan harta sebesar Rp161 miliar pada 2010-2013 dan harta sebanyak Rp22,21 miliar dari kekayaan periode 1999-2010.

Ada banyak sumber uang yang diakui Akill sebagai asal harta kekayaannya selain gaji dari anggota DPR dan hakim konstitusi.

Penghasilan pertama berasal dari penjualan sejumlah tanah yaitu tiga bidang lahan di Kecamatan Kapuas, Pontianak, Kalimantan Barat seluas 11.700 meter persegi yang diperoleh pada 2005 seharga Rp30-40 juta.

Tapi ia lalu menjual lahan tersebut pada 2006 seharga Rp6 miliar, lahan kedua dijual pada 2009 seharga Rp7 miliar dan lahan ketiga dijual pada 2010 seharga Rp8 miliar, padahal dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) hanya tertulis nilai ketiga tanah adalah Rp5 juta.

"Menurut saya, tidak mungkin lah 11 ribu meter persegi harganya Rp5 juta. Kalau di situ (LHKPN) tertulis Rp5 juta ya saya tidak tahu," ungkap Akil.

Selanjutnya Akil juga menjelaskan bahwa ia menjual tanah lain sejumlah Rp632 juta sedangkan lahan lain berhasil terjual sejumlah Rp8,812 miliar.

Usaha kedua adalah tambak ikan arwana jenis golden-red, red dan super red selama 2010-2014 dengan modal Rp2 miliar dari hasil penjualan tanah.

"Uang penjualan tanah sebagian untuk tabungan, investasi tambak arwana kurang lebih Rp1 miliar, dan revitalisasi kebun sawit hampir Rp4 miliar, sisanya untuk kepentingan saya," jelas Akil.

Namun tambak ikan arwana tersebut menurut Akil tidak punya izin.

"Penangkaran tidak ada izin, kecuali badan usaha yang melakukan ekspor baru ada izin. Di wilayah asal saya, masyarakat melakukan penjualan ikan itu, kami juga hanya melakukan penangkaran," tambah Akil.

Penangkaran ikan arwana tersebut menurut Akil dikelola seorang bernama Daud dengan delapan kolam ikan di kawasan seluas 1 hektare yang berada di beberapa lokasi.

Namun hasil panen ikan arwana tidak menentu karena bergantung pada keberuntungan.

"Realnya (untung) 3-4 kali, 1 induk bisa menghasilkan 40-60 ekor jadi 2,5 juta per ekor. Saya katakan total penjualan Rp4,257 miliar sepanjang 2010-2014," ungkap Akil.

"Keuntungan ada yang dibawa Pak Daud,pernah cash yang saya terima sendiri sebesar Rp200-300 juta," ungkap Akil.

Uang itu harus dibawa tunai karena akan dibelanjakan untuk pakan arwana seperti kelabang, jangkrik, beli kodok kecil yang seluruhnya harus hidup saat kembali ke Kalimantan.

"Dan itu perlu biaya. Ini daerahnya jauh dan yang ada hanya bank pembangunan daerah, kadang sistem online-nya tidak jalan," tambah Akil.

Selain diberikan tunai langsung ke Akil; supir Akil, Daryono juga pernah diminta mengambil Rp1 miiar dari perusahaan yang dititipi uang oleh Daud.

Sedangkan untuk perkebunan sawit, Akil mengaku mendapatkan hasil penjualan lebih dari Rp17 miliar.

"Pengelolaan kebun sawit oleh koperasi tapi perawatan, pemupukan dan pembersihan pohonnya saya yang melakukan," jelas Akil.

Akil juga mengaku masih memiliki usaha peternakan sapi yang telah dimulai sejak sebelum 1999 dan sudah berkembang hingga saat ini menjadi 300 ekor dengan nilai total Rp2,83 miliar.

Sayangnya, Akil tidak mencantumkan usaha-usahanya tersebut dalam LHKPN yang dilaporkan pada 2002, 2006 dan 2011.

"Tidak saya cantumkan karena tidak berpengaruh pada saya, itu dikelola orang. Saya terima penghasilan itu tapi itu sah, kalau dibilang kelalaian ya kelalaian tapi tidak masalah sepanjang bisa dilaporkan," tambah Akil.

Sedangkan mengenai CV Ratu Samagat yang dimiliki istri Akil, Ratu Rita Akil, dan disebut-sebut sebagai perusahaan yang menerima sejumlah transfer uang dari beberapa kepala daerah atas jasa Akil membantu mengurus perkara di MK, dia mengatakan tidak tahu masalah keuangannya.

"Saya tidak tahu masalah keuangannya kecuali ada belanja barang di Jakarta, kalau khusus kelola keuangan ya tidak tahu, saya tidak pernah lihat pembukuannya," ungkap Akil.

Atas perbuatan tersebut, Akil diatur dan diancam dalam pasal 3 ayat 1 huruf a dan c UU No 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana diubah dengan UU No 25 tahun 2003 jo pasal 65 ayat 1 KUHP dengan ancaman penjara maksimal 15 tahun kurungan dan denda Rp15 miliar.

Selain tindak pidana pencucian uang, Akil juga diduga menerima uang terkait sembilan pilkada senilai Rp55,815 miliar ditambah penerimaan hadiah terkait Pilkada Banten sejumlah Rp7,5 miliar dan janji akan mendapat Rp10 miliar dari pengurusan gugatan sengketa Pilkada Jawa Timur.
(D017/T007)