Jakarta (ANTARA) - Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) menekan pentingnya inovasi pembiayaan untuk mendorong pertumbuhan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di Indonesia.

“Maka, pembiayaan UMKM harus terus diperbesar dan dipermudah untuk dapat menjangkau karakteristik pelaku UMKM yang tidak seragam. Ada mikro, kecil, dan menengah,” ujar Plt (Pelaksana Tugas) Deputi Bidang UKM KemenKopUKM Temmy Satya Permana di Jakarta, Jumat.

Temmy Satya Permana mengatakan, pembiayaan menjadi isu penting bagi UMKM termasuk di sepanjang 10 tahun Pemerintahan Presiden Jokowi. Presiden telah mengeluarkan banyak kebijakan pembiayaan menjadi karpet merah bagi UMKM, pemberian Bantuan Produktif Usaha Mikro (BPUM) untuk modal kerja pelaku usaha mikro dan restrukturisasi kredit.

Saat ekonomi mulai pulih, presiden memberikan arahan untuk porsi pembiayaan bagi UMKM sebesar minimal 30 persen dari total kredit perbankan serta memberikan program KUR klaster yang sangat membantu usaha produktif yang dimiliki para pelaku usaha mikro dan kecil dalam suatu klaster. Penyaluran KUR juga meningkat setiap tahunnya, tahun ini ditargetkan hingga Rp297 triliun.

Tantangannya masih 47 persen kebutuhan pembiayaan UMKM yang belum dapat terlayani oleh lembaga jasa keuangan.

KemenKopUKM berkomitmen mendukung pertumbuhan usaha tak hanya di kelas mikro, tetapi juga mendorong kelas Usaha Kecil dan Menengah (UKM) salah satunya melalui pengusulan insentif serta inovasi pembiayaan melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada pengadaan barang/jasa pemerintah dan KUR Agregator.

Hasil kajian Ernts and Young dan AFPI (2023) menunjukkan adanya kesenjangan antara permintaan dan suplai pembiayaan UMKM pada tahun 2026, yakni kebutuhan pendanaan sebesar Rp4.300 triliun dan suplai hanya Rp1.900 triliun. Permintaan kredit sangat besar namun suplai kredit dari lembaga keuangan masih terbatas.

Temmy menyebut, mayoritas penerima kredit UMKM adalah usaha mikro sebesar 46,21 persen, diikuti oleh usaha kecil sebesar 31,26 persen, dan menengah sebesar 22,53 persen.

“Target porsi kredit perbankan ke UMKM sebesar 30 persen kami juga tidak yakin bisa tercapai. Sampai saat ini baru sekitar 19,6 persen. Maka, ada pekerjaan rumah yang belum selesai,” ujarnya.

Namun hal itu dapat di dukung melalui pembiayaan klaster, aggregator, dan pengadaan barang dan jasa pemerintah. UKM juga membutuhkan insentif terkait pembiayaan dan investasi. Maka, inovasi kebijakan pembiayaan untuk UMKM perlu terus diperkuat.

Temmy menekankan, melalui mekanisme rantai pasok agregator, memperluas jangkauan ini dapat membantu mengatasi masalah kredit rantai pasok melalui skema supply chain financing.

“KUR Klaster misalnya yang ada saat ini, dapat memperkuat rantai pasok dengan mendukung perajin lokal dalam meningkatkan produksi dan memperluas jangkauan pasar,” ujarnya.

Pada rantai pasok Pemerintah dan BUMN, terdapat lebih dari 8.146.219 produk dan 346.857 penyedia UMKM dalam ekatalog LKPP, tetapi realisasi transaksi belanja produk UMKM baru mencapai Rp208,5 triliun atau 43 persen dari total belanja sebesar Rp844,2 triliun. Kami berharap realisasi tahun ini bisa mencapai Rp 400 triliun, semua UMKM dapat mengambil manfaat dari program ini.

“Maka, pasarnya masih besar bagi UKM, yang salah satunya perlu didorong melalui sektor pembiayaan,” kata Temmy.

Ia berharap, tahun ini usulan terkait KUR tersebut bisa didorong dalam Pemerintahan baru maupun hingga akhir tahun ini.

Baca juga: PNM menyalurkan pembiayaan PNM Mekaar Rp45 triliun hingga Agustus 2024
Baca juga: OJK dorong kemudahan akses pembiayaan bagi UMKM
Baca juga: Kadin usulkan Indonesia adopsi pembiayaan kreatif untuk UMKM