Saksi: PT Timah tetap teken kerja sama 5 smelter meski biaya kemahalan
3 Oktober 2024 23:58 WIB
Sidang pemeriksaan saksi kasus dugaan korupsi timah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (3/10/2024). ANTARA/Agatha Olivia Victoria.
Jakarta (ANTARA) - Saksi kasus dugaan korupsi timah, Abdullah Umar Baswedan mengungkapkan PT Timah Tbk. tetap meneken kerja sama sewa smelter dengan lima smelter swasta meski telah mengetahui biaya yang disepakati kemahalan.
Abdullah, yang merupakan Kepala Divisi Keuangan PT Timah, mengungkapkan biaya yang disepakati untuk kerja sama sewa smelter tersebut mencapai di atas 3.000 dolar Amerika Serikat (AS) per metrik ton.
"Dalam rapat disepakati dengan nilai itu. Setelah rapat saya sampaikan bahwa biaya itu terlalu mahal," kata Abdullah dalam sidang pemeriksaan saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.
Dirinya mengaku menyampaikan hal tersebut kepada Direktur Operasi dan Produksi PT Timah periode 2017-2020 Alwin Albar.
Ia juga telah menyampaikan bahwa harga sewa smelter di PT Timah Unit Metalurgi Muntok biasanya hanya sekitar 1.000 dolar AS, sangat jauh berbeda dari kesepakatan dengan para smelter swasta.
Kendati demikian, Abdullah menyebutkan saat itu Alwin menilai tak ada masalah mengenai biaya tersebut karena PT Timah memiliki margin biaya, sehingga sudah diperhitungkan.
"Setelah itu saya tidak terinfo lagi, termasuk pembicaraan dan seterusnya. Terus tiba-tiba terinfo ada kerja sama," ucap dia.
Abdullah bersaksi dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk. tahun 2015–2022 yang menyeret antara lain tiga petinggi smelter swasta sebagai terdakwa.
Ketiga petinggi smelter swasta dimaksud, yakni Pemilik Manfaat CV Venus Inti Perkasa (VIP) dan PT Menara Cipta Mulia (MCM) Tamron alias Aon, General Manager Operational CV VIP dan PT MCM Achmad Albani, serta Direktur Utama CV VIP Hasan Tjhie.
Ketiganya didakwa terlibat dalam kasus korupsi itu sehingga merugikan keuangan negara senilai Rp300 triliun.
Selain ketiga petinggi smelter swasta, terdapat pula pengepul bijih timah (kolektor), Kwan Yung alias Buyung yang didakwakan perbuatan serupa.
Dengan begitu, perbuatan keempat terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kendati demikian khusus Tamron, terancam pula pidana dalam Pasal 3 atau Pasal 4 UU Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Tamron melakukan TPPU dari uang korupsi yang diterimanya dalam kasus tersebut sebesar Rp3,66 triliun, antara lain untuk membeli alat berat, obligasi negara, hingga ruko.
Baca juga: Mantan Dirut PT Timah mengelak saat hakim cecar penyebab tambang liar
Baca juga: Pengadilan Tipikor tolak eksepsi eks petinggi PT TIN di kasus timah
Abdullah, yang merupakan Kepala Divisi Keuangan PT Timah, mengungkapkan biaya yang disepakati untuk kerja sama sewa smelter tersebut mencapai di atas 3.000 dolar Amerika Serikat (AS) per metrik ton.
"Dalam rapat disepakati dengan nilai itu. Setelah rapat saya sampaikan bahwa biaya itu terlalu mahal," kata Abdullah dalam sidang pemeriksaan saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.
Dirinya mengaku menyampaikan hal tersebut kepada Direktur Operasi dan Produksi PT Timah periode 2017-2020 Alwin Albar.
Ia juga telah menyampaikan bahwa harga sewa smelter di PT Timah Unit Metalurgi Muntok biasanya hanya sekitar 1.000 dolar AS, sangat jauh berbeda dari kesepakatan dengan para smelter swasta.
Kendati demikian, Abdullah menyebutkan saat itu Alwin menilai tak ada masalah mengenai biaya tersebut karena PT Timah memiliki margin biaya, sehingga sudah diperhitungkan.
"Setelah itu saya tidak terinfo lagi, termasuk pembicaraan dan seterusnya. Terus tiba-tiba terinfo ada kerja sama," ucap dia.
Abdullah bersaksi dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk. tahun 2015–2022 yang menyeret antara lain tiga petinggi smelter swasta sebagai terdakwa.
Ketiga petinggi smelter swasta dimaksud, yakni Pemilik Manfaat CV Venus Inti Perkasa (VIP) dan PT Menara Cipta Mulia (MCM) Tamron alias Aon, General Manager Operational CV VIP dan PT MCM Achmad Albani, serta Direktur Utama CV VIP Hasan Tjhie.
Ketiganya didakwa terlibat dalam kasus korupsi itu sehingga merugikan keuangan negara senilai Rp300 triliun.
Selain ketiga petinggi smelter swasta, terdapat pula pengepul bijih timah (kolektor), Kwan Yung alias Buyung yang didakwakan perbuatan serupa.
Dengan begitu, perbuatan keempat terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kendati demikian khusus Tamron, terancam pula pidana dalam Pasal 3 atau Pasal 4 UU Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Tamron melakukan TPPU dari uang korupsi yang diterimanya dalam kasus tersebut sebesar Rp3,66 triliun, antara lain untuk membeli alat berat, obligasi negara, hingga ruko.
Baca juga: Mantan Dirut PT Timah mengelak saat hakim cecar penyebab tambang liar
Baca juga: Pengadilan Tipikor tolak eksepsi eks petinggi PT TIN di kasus timah
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2024
Tags: