Peneliti: Mitra global telah akui status RI sebagai kekuatan menengah
3 Oktober 2024 23:11 WIB
Peneliti Departemen Hubungan Internasional CSIS Andrew W Mantong berbicara dalam diskusi "Peran Kekuatan Menengah dalam Multipolar" yang diadakan di Universitas Nasional (UNAS) di Jakarta, Kamis (3/10/2024). (ANTARA/Cindy Frishanti)
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Departemen Hubungan Internasional CSIS Andrew W Mantong menilai bahwa mitra global Indonesia telah mengakui status Indonesia sebagai kekuatan menengah yang konsisten melaksanakan prinsip kebijakan luar negeri bebas dan aktif.
Dalam diskusi “Peran Kekuatan Menengah dalam Multipolar” di Jakarta, Kamis, Andrew mengatakan Indonesia yang selalu berupaya menjadi penengah antara kekuatan besar dan kekuatan kecil, penengah antara Timur dan Barat, belahan bumi selatan dan belahan bumi utara merupakan bukti peran Indonesia sebagai negara kekuatan menengah.
“Tetapi mereka (mitra global Indonesia) juga mengakui bahwa ada beberapa batasan dalam kekuatan Indonesia sebagai kekuatan menengah,” tambah Andrew.
Dia berpendapat bahwa Indonesia bisa berkontribusi lebih aktif dalam mediasi dan dialog meski masih ada beberapa batasan signifikan dalam menyelesaikan konflik yang sebenarnya.
“Kita dapat pergi ke Ukraina. Kita dapat pergi ke Rusia. Namun, apakah konflik akan berakhir atau tidak, itu akan membutuhkan sumber daya lain,” ujar Andrew.
Andrew melanjutkan, meski Indonesia telah diakui oleh mitra global sebagai negara kekuatan menengah, status tersebut tidak membuat Indonesia bisa lepas dari kritik.
Andrew menyebutkan salah satu kritik itu adalah Indonesia dianggap sedikit ambigu dalam hal kepemimpinan, khususnya selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, karena kebijakan luar negeri Indonesia dianggap lebih didorong kepentingan ekonomi dan tidak tertarik untuk memperluas ke peran lainnya.
Selain itu, Andrew juga mengatakan bahwa terkadang para mitra global kesulitan mengaitkan Indonesia dengan kemampuan khusus yang jelas seperti negara-negara menengah lainnya, sembari memberi contoh Australia atau Korea Selatan yang semakin aktif dan peduli dengan teknologi.
Dia juga menilai bahwa terkadang keberadaan Indonesia di tingkat global masih sangat bergantung pada kedudukan simbolis daripada mobilisasi sumber daya yang jelas, kontribusi keuangan atau bahkan fungsi keamanan sebagai penyedia barang publik global atau regional.
Lebih lanjut, Andrew mengatakan bahwa ketika berbicara tentang kekuatan menengah, ada asumsi bahwa beberapa landasan normatif memiliki dampak dan beberapa platform multilateral tetap stabil.
“Kondisi saat ini dalam mengonseptualisasikan kekuatan menengah adalah kenyataan bahwa tatanan internasional sedang berubah, dan telah ada tantangan dan skeptisisme yang besar atas ketergantungan pada platform multilateral,” ujar Andrew.
Yang menjadi pertanyaan sekarang, Andrew melanjutkan, nilai-nilai seperti apa yang ingin Indonesia andalkan pada tingkat global, seperti, apakah Indonesia masih akan mempromosikan diri sebagai negara demokratis di tingkat regional dan global atau tidak.
Baca juga: CSIS: Kebijakan luar negeri Jokowi didominasi agenda ekonomi
Baca juga: Kemlu: kekuatan menengah mampu bermanuver seperti jet tempur
Baca juga: Negara kekuatan menengah berperan pastikan perdamaian, stabilitas
Dalam diskusi “Peran Kekuatan Menengah dalam Multipolar” di Jakarta, Kamis, Andrew mengatakan Indonesia yang selalu berupaya menjadi penengah antara kekuatan besar dan kekuatan kecil, penengah antara Timur dan Barat, belahan bumi selatan dan belahan bumi utara merupakan bukti peran Indonesia sebagai negara kekuatan menengah.
“Tetapi mereka (mitra global Indonesia) juga mengakui bahwa ada beberapa batasan dalam kekuatan Indonesia sebagai kekuatan menengah,” tambah Andrew.
Dia berpendapat bahwa Indonesia bisa berkontribusi lebih aktif dalam mediasi dan dialog meski masih ada beberapa batasan signifikan dalam menyelesaikan konflik yang sebenarnya.
“Kita dapat pergi ke Ukraina. Kita dapat pergi ke Rusia. Namun, apakah konflik akan berakhir atau tidak, itu akan membutuhkan sumber daya lain,” ujar Andrew.
Andrew melanjutkan, meski Indonesia telah diakui oleh mitra global sebagai negara kekuatan menengah, status tersebut tidak membuat Indonesia bisa lepas dari kritik.
Andrew menyebutkan salah satu kritik itu adalah Indonesia dianggap sedikit ambigu dalam hal kepemimpinan, khususnya selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, karena kebijakan luar negeri Indonesia dianggap lebih didorong kepentingan ekonomi dan tidak tertarik untuk memperluas ke peran lainnya.
Selain itu, Andrew juga mengatakan bahwa terkadang para mitra global kesulitan mengaitkan Indonesia dengan kemampuan khusus yang jelas seperti negara-negara menengah lainnya, sembari memberi contoh Australia atau Korea Selatan yang semakin aktif dan peduli dengan teknologi.
Dia juga menilai bahwa terkadang keberadaan Indonesia di tingkat global masih sangat bergantung pada kedudukan simbolis daripada mobilisasi sumber daya yang jelas, kontribusi keuangan atau bahkan fungsi keamanan sebagai penyedia barang publik global atau regional.
Lebih lanjut, Andrew mengatakan bahwa ketika berbicara tentang kekuatan menengah, ada asumsi bahwa beberapa landasan normatif memiliki dampak dan beberapa platform multilateral tetap stabil.
“Kondisi saat ini dalam mengonseptualisasikan kekuatan menengah adalah kenyataan bahwa tatanan internasional sedang berubah, dan telah ada tantangan dan skeptisisme yang besar atas ketergantungan pada platform multilateral,” ujar Andrew.
Yang menjadi pertanyaan sekarang, Andrew melanjutkan, nilai-nilai seperti apa yang ingin Indonesia andalkan pada tingkat global, seperti, apakah Indonesia masih akan mempromosikan diri sebagai negara demokratis di tingkat regional dan global atau tidak.
Baca juga: CSIS: Kebijakan luar negeri Jokowi didominasi agenda ekonomi
Baca juga: Kemlu: kekuatan menengah mampu bermanuver seperti jet tempur
Baca juga: Negara kekuatan menengah berperan pastikan perdamaian, stabilitas
Pewarta: Cindy Frishanti Octavia
Editor: Primayanti
Copyright © ANTARA 2024
Tags: