KPK tetapkan 3 tersangka korupsi APD pada masa pandemi COVID-19
3 Oktober 2024 18:47 WIB
Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu dalam penetapan tiga orang tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tahun anggaran 2020 di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (3/10/2024). ANTARA/Putu Indah Savitri
Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan tiga orang tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tahun anggaran 2020 yang merugikan negara sebesar Rp319 miliar.
"Atas kecukupan bukti permulaan, KPK menetapkan 3 orang sebagai tersangka," ujar Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis.
Ketiga tersangka tersebut meliputi mantan Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan Budi Sylvana (BS), yang saat itu berlaku sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Kemudian, Ahmad Taufik (AT) selaku Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PPM), dan Satrio Wibowo (SW) selaku Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI).
KPK melakukan penahanan kepada dua orang tersangka, yakni Tersangka BS di Rutan Cabang KPK Gedung ACLC dan Tersangka SW di Rutan Cabang KPK Gedung Merah Putih.
Adapun konstruksi perkara yang menjerat ketiga tersangka tersebut, bermula pada Maret 2020 ketika PT Permana Putra Mandiri (PPM) dan PT Energi Kita Indonesia (EKI) menjadi distributor APD.
Kementerian Kesehatan membeli 10.000 unit APD dari PT PPM dengan harga Rp379.500 per set. Namun, dalam pelaksanaannya, terjadi beberapa penyimpangan, seperti pengambilan barang oleh TNI (atas perintah BNPB) tanpa dokumentasi yang lengkap dan tanpa surat pemesanan.
Lebih lanjut, pada 22 Maret 2020, Satrio Wibowo selaku Dirut PT EKI menandatangani kontrak kesepakatan sebagai penjual resmi APD sebanyak 500 ribu set. Harga dari APD tersebut mengikuti nilai dolar saat pemesanan.
Baca juga: KPK panggil eks Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes Budi Sylvana
Baca juga: KPK panggil mantan pejabat Kemenkes soal korupsi APD
Kesepakatan itu berlanjut dengan kerja sama PPM dan EKI untuk menjadi distributor APD dengan margin 18,5 persen diberikan kepada PPM. Hasil negosiasi PPM dan EKI diserahkan kepada BNPB.
Kepala BNPB saat itu Hermansyah melakukan negosiasi harga APD dari 60 dolar AS menjadi 50 dolar AS dalam sebuah rapat dengan Satrio.
"Penawaran tersebut tidak mengacu pada harga APD, merek yang sama, yang dibeli oleh Kemenkes sebelumnya yaitu Rp370 ribu," ujar Asep.
Lebih lanjut, pada 28 Maret 2020, Budi Sylvana ditunjuk sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Dokumen pengangkatannya dibuat mundur menjadi tanggal 27 Maret 2020.
Peran Budi dalam kasus tersebut adalah menyetujui pengadaan APD sebanyak lima juta set dengan harga 48,4 dolar AS dengan para tersangka. Dokumen yang dibuat tidak memerinci spesifikasi pekerjaan, waktu pelaksanaan, sampai pembayaran.
Para tersangka juga melakukan negosiasi ulang terkait pengadaan APD ini pada Mei 2020. Kemenkes diketahui hanya menerima APD sebanyak 3.140.200 set pada 18 Mei 2020.
Audit BPKP menemukan adanya kerugian negara sebesar Rp319 miliar akibat pengadaan APD dalam perkara ini. Ketiga tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Sementara itu, kuasa hukum Budi, Ali Yusuf menyampaikan bahwa berdasarkan risalah rapat pada Senin, tanggal 30 Maret 2020, Budi Sylvana hanya bertindak sebagai juru bayar.
Ali juga menyampaikan sejumlah upaya yang dilakukan Budi Sylvana agar dalam pengadaan APD ini tidak ada kerugian negara, seperti melakukan negosiasi ulang, meminta penyedia mengajukan penawaran baru, serta meminta menghentikan pengiriman APD.
“Ini sudah sangat jelas Budi Sylvana berusaha menyelamatkan keuangan negara,” ucap Ali.
"Atas kecukupan bukti permulaan, KPK menetapkan 3 orang sebagai tersangka," ujar Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis.
Ketiga tersangka tersebut meliputi mantan Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan Budi Sylvana (BS), yang saat itu berlaku sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Kemudian, Ahmad Taufik (AT) selaku Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PPM), dan Satrio Wibowo (SW) selaku Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI).
KPK melakukan penahanan kepada dua orang tersangka, yakni Tersangka BS di Rutan Cabang KPK Gedung ACLC dan Tersangka SW di Rutan Cabang KPK Gedung Merah Putih.
Adapun konstruksi perkara yang menjerat ketiga tersangka tersebut, bermula pada Maret 2020 ketika PT Permana Putra Mandiri (PPM) dan PT Energi Kita Indonesia (EKI) menjadi distributor APD.
Kementerian Kesehatan membeli 10.000 unit APD dari PT PPM dengan harga Rp379.500 per set. Namun, dalam pelaksanaannya, terjadi beberapa penyimpangan, seperti pengambilan barang oleh TNI (atas perintah BNPB) tanpa dokumentasi yang lengkap dan tanpa surat pemesanan.
Lebih lanjut, pada 22 Maret 2020, Satrio Wibowo selaku Dirut PT EKI menandatangani kontrak kesepakatan sebagai penjual resmi APD sebanyak 500 ribu set. Harga dari APD tersebut mengikuti nilai dolar saat pemesanan.
Baca juga: KPK panggil eks Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes Budi Sylvana
Baca juga: KPK panggil mantan pejabat Kemenkes soal korupsi APD
Kesepakatan itu berlanjut dengan kerja sama PPM dan EKI untuk menjadi distributor APD dengan margin 18,5 persen diberikan kepada PPM. Hasil negosiasi PPM dan EKI diserahkan kepada BNPB.
Kepala BNPB saat itu Hermansyah melakukan negosiasi harga APD dari 60 dolar AS menjadi 50 dolar AS dalam sebuah rapat dengan Satrio.
"Penawaran tersebut tidak mengacu pada harga APD, merek yang sama, yang dibeli oleh Kemenkes sebelumnya yaitu Rp370 ribu," ujar Asep.
Lebih lanjut, pada 28 Maret 2020, Budi Sylvana ditunjuk sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Dokumen pengangkatannya dibuat mundur menjadi tanggal 27 Maret 2020.
Peran Budi dalam kasus tersebut adalah menyetujui pengadaan APD sebanyak lima juta set dengan harga 48,4 dolar AS dengan para tersangka. Dokumen yang dibuat tidak memerinci spesifikasi pekerjaan, waktu pelaksanaan, sampai pembayaran.
Para tersangka juga melakukan negosiasi ulang terkait pengadaan APD ini pada Mei 2020. Kemenkes diketahui hanya menerima APD sebanyak 3.140.200 set pada 18 Mei 2020.
Audit BPKP menemukan adanya kerugian negara sebesar Rp319 miliar akibat pengadaan APD dalam perkara ini. Ketiga tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Sementara itu, kuasa hukum Budi, Ali Yusuf menyampaikan bahwa berdasarkan risalah rapat pada Senin, tanggal 30 Maret 2020, Budi Sylvana hanya bertindak sebagai juru bayar.
Ali juga menyampaikan sejumlah upaya yang dilakukan Budi Sylvana agar dalam pengadaan APD ini tidak ada kerugian negara, seperti melakukan negosiasi ulang, meminta penyedia mengajukan penawaran baru, serta meminta menghentikan pengiriman APD.
“Ini sudah sangat jelas Budi Sylvana berusaha menyelamatkan keuangan negara,” ucap Ali.
Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2024
Tags: