Palembang (ANTARA) - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Suharyanto mengatakan penanganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, harus terus dilakukan dengan cepat, terorganisir, dan tepat sasaran.

“Penanganan karhutla di Sumsel harus terus dilakukan dengan cepat, terorganisir, tepat sasaran, dan dipastikan bahwa api benar-benar padam.” kata Suharyanto di Muara Enim, Rabu.

Ia mengatakan pihaknya tidak ingin kejadian karhutla tahun 2015 dan 2019 terulang kembali. Sebab, kejadian karhutla di dua periode itu telah membuat reputasi penanganan dipertanyakan oleh berbagai pihak.

Baca juga: BNPB: Operasi karhutla di enam provinsi berlaku aktif sampai November

“Pada 2019 ketika El Nino kita seolah-olah tidak berdaya mengatasi karhutla. Tahun 2015 kita diprotes karena asapnya menyeberang ke negara tetangga,” ujarnya.

Meskipun demikian, ia mengapresiasi upaya tim satgas gabungan dalam menumpas titik api yang masih membandel. Kebakaran lahan gambut memang butuh penanganan khusus. Sebab, meski terlihat sudah padam namun boleh jadi bara api masih terkandung di dalam tanah.

Menurut dia, upaya satgas darat dan udara itu menjadi bukti bahwa sebenarnya Indonesia mampu, meskipun fenomena El Nino juga melanda pada tahun 2023.

Baca juga: Karhutla di Sumatera Selatan dinyatakan terkendali

“Tahun 2023 walau El Nino karena kita lebih cepat, gesit, dan terpadu. Kebakarannya ada, tetapi lebih sedikit dan tidak sampai menyeberang. Dari 2015 sampai tahun ini turun terus,” katanya.

Selain itu, hasil temuan menyebutkan bahwa 99 persen faktor karhutla ini terjadi karena ulah manusia. Sebab, masih banyak praktik-praktik pembukaan lahan dengan cara dibakar karena dinilai lebih efisien dan ekonomis,

Oleh sebab itu, Kepala BNPB meminta agar upaya penegakan hukum dilakukan. Hal itu dapat menjadi salah satu solusi untuk menekan kejadian karhutla di tanah air termasuk di Sumatera Selatan.

Baca juga: BNPB umumkan kasus Karhutla mulai mendominasi di Pulau Sumatera

“Sumatera Selatan ini 'primadona' karena kebakarannya besar. Mereka (penyedia jasa helikopter) maunya ke Palembang, kalau digeser ke Riau atau Jambi tidak mau. Karena mereka menganggap penghasilannya sangat besar, sehingga kita coba ubah pola pikirnya,” kata Suharyanto.