Paris (ANTARA) - Perdana Menteri (PM) Prancis Michel Barnier pada Selasa (1/10) menyampaikan pidato komprehensif selama satu setengah jam di Majelis Nasional, memaparkan prioritas utama pemerintahannya termasuk pengurangan defisit publik, reformasi imigrasi, dan kebijakan pensiun.

Barnier menetapkan target ambisius untuk defisit publik Prancis, yang menargetkan untuk menurunkan defisit menjadi 5 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada 2025 dari defisit 6 persen tahun ini, dan kembali turun ke angka 3 persen pada 2029.

Untuk mencapai tujuan tersebut, Barnier berjanji akan memangkas belanja publik dan memperkenalkan skema belanja publik yang lebih "efektif."

Dia juga menyerukan upaya pajak tambahan, dengan perusahaan besar dan sangat besar yang menghasilkan laba signifikan harus memberikan kontribusi lebih banyak "tanpa mengorbankan daya saing" Prancis.

Kaum terkaya di Prancis juga akan menjadi sasaran untuk "kontribusi luar biasa," imbuhnya.

Menyusul kasus pembunuhan seorang pelajar muda oleh seorang imigran ilegal yang seharusnya dideportasi dari Prancis, Barnier mengakui di Majelis Nasional bahwa kebijakan migrasi dan integrasi Prancis tidak lagi dikelola "secara memuaskan."

Barnier mengatakan pemerintahannya akan mempertimbangkan untuk memperketat penerbitan visa bagi negara-negara yang enggan mengeluarkan laissez-passer (izin masuk) untuk memulangkan warga negaranya yang dideportasi.

Selain itu, dia mengusulkan langkah-langkah untuk memfasilitasi perpanjangan luar biasa untuk penahanan migran tidak berdokumen yang menunggu deportasi, dan meningkatkan penegakan kewajiban untuk meninggalkan wilayah Prancis.

Barnier juga mengumumkan kebijakan tentang energi, akomodasi, dan potensi reformasi lebih lanjut tentang pensiun.

Berbicara di hadapan majelis rendah yang semakin terpecah, Barnier berjanji akan memimpin Prancis dengan "metode baru" dengan prinsip "mendengarkan, menghormati, dan berdialog."

Sebagai perdana menteri tanpa mayoritas absolut di Majelis Nasional, Barnier meminta oposisi untuk menjadikan "dialog dan budaya kompromi" sebagai prinsip tata kelola.