Jakarta (ANTARA) - Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Juda Agung memaparkan tantangan dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) di tanah air.

“Tantangan yang kita hadapi dalam menjaga SSK terus harus kita respons dan harus kita persiapkan, termasuk juga momentum pertumbuhan ekonomi yang harus kita jaga,” ujar Juda Agung, di Gedung Kantor Pusat BI, Jakarta, Rabu.

Masalah pertama adalah bagaimana Indonesia bisa memanfaatkan siklus keuangan global yang sudah mulai mengalami pelonggaran seiring pengaruh penurunan Fed Fund Rate (FFR) dan BI Rate pada bulan September 2024, pelambatan inflasi di Amerika Serikat (AS), serta berbagai kebijakan stimulus untuk menurunkan tingkat ketidakpastian pasar keuangan internasional. Hal ini mengingat kebutuhan pembiayaan ekonomi semakin meningkat pada tahun-tahun mendatang.

Di sisi lain, dinamika ekonomi dan keuangan global dapat berkembang begitu cepat, termasuk risiko geopolitik Timur Tengah yang memiliki implikasi terhadap ekonomi, mulai dari gejolak harga minyak hingga rantai pasok global. Karena itu, risiko tersebut harus dicermati dan dikelola dengan baik.

Peningkatan risiko operasional yang muncul dari digitalisasi keuangan juga menjadi tantangan dalam menjaga SSK. Memang, digitalisasi membawa manfaat besar bagi perekonomian Indonesia dalam bentuk akses keuangan lebih mudah, sehingga mendorong transformasi ekonomi. Namun, manfaat-manfaat itu datang dibarengi dengan risiko-risiko baru yang harus diantisipasi.

Pihaknya melihat tiga risiko operasional yang perlu diatasi. Pertama adalah ancaman siber, seperti peretasan malware, ransomware, dan phishing yang berkembang dengan intensitas beserta kompleksitas semakin tinggi. Problem ini menimbulkan risiko keamanan bagi data pelanggan dan kepercayaan terhadap integritas sistem keuangan Indonesia.

Kedua adalah risiko fraud seiring peningkatan penggunaan platform digital yang membuka peluang penipuan seperti pencurian identitas, transaksi palsu, manipulasi data, hingga judi online yang merusak reputasi dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan.

Karena itu, BI bersama pihak industri disebut memperkuat fraud detection system untuk mencegah masalah tersebut. Ke depan, artificial intelligence (AI) yang lebih canggih akan dikembangkan guna mendeteksi pola-pola fraud tertentu.

“Misalnya beli bubur ayam tengah malam seribu kali dengan jumlah yang sama, ini kan jelas sesuatu yang perlu dicurigai, anomali, sehingga ini kita deteksi. Itu salah satu contoh, dan ada banyak contoh lainnya, baik itu di level transaksi, di level jumlahnya, di level frekuensinya, ini bisa ditelisik dengan menggunakan AI. Ke depan kita sedang kembangkan itu,” ujar dia pula.

Ketiga yaitu risiko operasional terkait layanan pihak ketiga penyedia teknologi kritikal (third party risk). Infrastruktur sektor keuangan dinilai semakin banyak tergantung kepada penyedia teknologi kritikal seperti cloud service provider seiring dengan meningkatnya jumlah data, sehingga tak bisa atau terlalu berat untuk disimpan on-premise (sistem penyimpanan dan pengolahan data yang dikelola langsung oleh tim internal IT perusahaan serta berada di sebuah gedung).

Eksposure terhadap pihak ketiga ini semakin meningkat karena konsentrasi segelintir penyedia jasa yang berakibat kepada kegagalan penyedia jasa teknologi kritikal dan menyebabkan risiko sistemik di sektor keuangan. Oleh sebab itu, diperlukan berbagai upaya untuk melakukan manajemen risiko terhadap teknologi seperti cloud.

Tantangan selanjutnya yakni risiko perubahan iklim yang menyebabkan di antaranya banjir, kekeringan, kenaikan permukaan air laut, penurunan nilai aset berbasis fosil, hingga kesulitan pendanaan akibat aktivitas bisnis brown.

Survei persepsi Global Economic Forum mengemukakan bahwa risiko iklim menduduki peringkat kedua dalam jangka waktu dua tahun ke depan dan posisi pertama sebagai risiko terbesar dalam 10 tahun yang akan datang.
Baca juga: KSSK: Stabilitas sistem keuangan RI tetap terjaga di triwulan I-2024
Baca juga: KSSK: Sistem keuangan kuartal II tetap stabil di tengah gejolak global


"Oleh karena itu, penting bagi sektor keuangan untuk mengintegrasikan risiko perubahan iklim dalam proses bisnis, termasuk bagaimana sektor keuangan mampu mengukur emisi dari berbagai aktivitasnya dan mengurangi dampak lingkungan. Saat ini, berbagai standar mulai dikeluarkan, termasuk standar disclosure yang disusun oleh ISSB (International Sustainability Standards Board) dan BCBS (Basel Committee on Banking Supervision) yang menjadi tolak ukur bagaimana korporasi dan lembaga keuangan harus mengelola risiko dan peluang terkait dengan iklim,” kata Juda Agung.

Pada kesempatan tersebut, BI juga meluncurkan Buku Kajian Stabilitas Keuangan (KSK) Nomor 43 dan Aplikasi Kalkulator Hijau untuk mendukung upaya penghitungan dan pelaporan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) perbankan dan pelaku usaha.