Jakarta, (ANTARA News) - Ketua Umum Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (KAGAMA) Sri Sultan Hamengkubono X mengatakan pemerintah baru harus melakukan reformasi total di bidang kebijakan pangan nasional.

"Reformasi tersebut dimulai dari 'ketahanan pangan' dengan pilar utama produk impor, menuju “kemandirian pangan” yang berbasis local content, agar tercapai 'kedaulatan pangan' yang sejati," kata Sultan saat membuka acara Seminar Nasional Kedaulatan Pangan Kagama di Jakarta, Minggu.

Sultan mengatakan, saat ini tantangan untuk mewujudkan kedaulatan pangan semakin berat karena penggunaan sumber bahan pangan telah bergeser semakin luas dari sekedar untuk bahan pangan (food) menjadi pakan (feed), energi (fuel), dan serat tekstil (fibre).

"Tambahan lagi, sekarang ini sektor finance melihat food, feed, fuel dan fibre ini semakin prospektif untuk ladang investasi para konglomerasi dunia," katanya.

Jika kita tidak memahami realitas baru tersebut dan tidak menempatkannya sebagai basis paling fundamental dalam pengambilan kebijakan, Sultan khawatir ketahanan pangan kita akan lemah sehingga berdampak kerawanan pangan.

"Dampaknya langsung dirasakan oleh petani gurem dan masyarakat miskin kota yang sebelumnya sudah hidup dalam serba kekurangan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya," katanya.

Oleh sebab itu, kata Sultan, perlu ada pemandu di semua jenjang kepemimpinan.

Pemimpin yang bekerja tidak hanya duduk di depan meja saja, tetapi memastikan di lapangan, apakah capaian sudah terlaksana dengan baik dan akuntabel.

Lebih lanjut Sultan mengkritisi belum optimalnya hasil reformasi karena masih berkutat pada perubahan aspek kelembagaan, sistem dan prosedur tapi belum mengubah "soft side" yang berbasis budaya, revolusi mental untuk mengubah perilaku.

"Apalagi jika mengingat sekarang ini kedaulatan di bidang ekonomi dan pasar semakin dipersoalkan. Indonesia memiliki kedaulatan mata uang, tetapi jagat perbankan nasional sebesar 50,6 persen, asetnya dimiliki asing," katanya.

Selain itu, Indonesia memiliki kedaulatan teritorial, namun penguasaan asing atas kandungan migas mencapai 70 persen, batubara, bauksit, nikel, dan timah 75 persen, tembaga dan emas 85 persen.

Sultan juga memaparkan 40 persen dari 8,9 juta lahan sawit dikuasasi asing.

"Lalu, bagaimana kita bisa menegakkan TriSakti Jiwa Proklamasi, jika dominasi asing di sektor ekonomi demikian kukuh mencengkeram? Pemilu Legislatif 2014 telah membuktikan, bahwa politik pun sudah berpanglima pasar. Inilah ironinya Indonesia kita," kata Sultan.(*)