Jakarta (ANTARA) - Lalisa Manoban, penyanyi asal Thailand yang popular sebagai Lisa, anggota dari BlackPink band perempuan Korea Selatan, membuat popularitas Labubu melejit, setelah ia menunjukkan kecintaannya pada Labubu, karakter dalam boneka “The Monsters” keluaran Pop Mart.

Lisa terlihat di medsos memeluk boneka Labubu, juga memakai kantungan tas Labubu, dan ini memicu banyak orang muda bersedia mengantre berjam-jam untuk membeli boneka lucu-seram tersebut, terutama penggemarnya di Thailand, Indonesia, dan negara Asia Tenggara lainnya.

Labubu bukanlah koleksi murah. Penjualan secara blind box ditawarkan antara 20-30 dolar untuk satu boneka, sedangkan koleksi edisi terbatas bisa mencapai 400 dolar hingga 1.200 dolar AS.

Seniman kelahiran Hong Kong bernama Kasing Lung menciptakan Labubu sebagai bagian dari lima karakter dalam The Monsters. Konon, dia terinspirasi cerita rakyat Nordik, dan memberikan lisensi karyanya pada Pop Mart.

Daya tarik Labubu adalah pada kombinasi bentuknya yang imut (cute), tetapi sekaligus juga berkesan seram (creepy). Dalam beberapa dasawarsa terakhir, popularitas seni cute-creepy ini meningkat, terutama dalam rancangan model mainan anak, film, dan seni lainnya.

Di Jepang, kata “Kawaii” secara harafiah berarti lucu, manis dan menggemaskan, seperti makna cute dalam Bahasa Inggris, namun pada 1970-an berkembang budaya dan seni kawaii horror, yaitu keimutan yang mengandung elemen aneh, absurd dan menyeramkan.

Karakter Hello Kitty, sepintas menampilkan sosok kucing cantik, tetapi wajahnya yang tanpa ekspresi bagi sebagian orang berkesan menyeramkan.

Bukan hanya di Jepang, perancang mainan yang menggunakan boneka vinil pada 1900-an mulai mengeluarkan mainan dengan tema cute-creepy, misalnya Tim Burton dengan karakter-karakter aneh ciptaannya, seperti dalam film The Nightmare Before Christmas dan Corpse Bride.

Labubu yang banyak digemari oleh gadis-gadis ini dianggap sebagai perlawanan terhadap sterotipi gender tentang kecantikan tradisional macam boneka Barbie yang imut dan bertubuh langsing, tinggi, dengan rambut pirang.

Sebagai monster yang imut, Labubu mempunyai gigi-gigi runcing yang menyembul di antara senyumnya, matanya bulat lebar dan kedua telinganya panjang runcing mirip kelinci. Bentuk yang aneh ini bertentangan dengan konsep boneka yang biasanya dibeli untuk menghibur dan menjadi teman, dipeluk, bahkan dibawa tidur.


Ketakutan terkendali

Alasan orang menyukai boneka seram karena kehadirannya menawarkan sensasi unik, ketakutan yang terkendali, mistis, atau ketakutan yang menyenangkan.

Ada istilah psikologi horor, yaitu kengerian yang datang dari sesuatu yang tampaknya tidak berbahaya, bahkan familiar, namun bisa menjadi menyeramkan, misalnya boneka dengan mata yang kosong, wajah tanpa ekspresi, senyum aneh.

Ketertarikan orang pada kombinasi keimutan dan keseraman secara psikologis bisa dijelaskan dalam konsep uncanny valley, yaitu reaksi emosi manusia terhadap objek yang terlihat hampir manusiawi.

Ilmuwan robot dari Jepang Masahiro Mori pada 1970 memperkenalkan konsep tersebut, sosok yang mirip manusia, tetapi mengandung elemen tidak wajar, sehingga bisa menimbulkan ketidaknyamanan.

Manusia tertarik pada hal-hal yang memunculkan konflik emosional atau paradoks dan ketegangan, itu sebabnya film horor dan cerita yang menyeramkan laris manis.

Sudah tahu film horor, tetapi orang mau membayar untuk menonton karena menikmati sensasi yang mendebarkan dan memacu adrenalin.

Popularitas Labubu, juga boneka dan mainan seram lainnya macam, tamagochi, Toy’s R, Annable, terjadi karena peran media sosial. Semakin banyak sosok idola dan influencer memamerkan koleksinya, maka penggemar mereka juga semakin tertarik.

Para kolektor, influencer sering mengunggah video ke medsos, saat mereka unboxing belanja Labubu secara daring untuk koleksi blind box. Ketegangan sudah dimulai, karena membeli produk tanpa mengetahui akan mendapat Labubu yang seperti apa.

Boneka cute and creepy menjadi simbol gabungan antara hal baik dan buruk, konsep positif dan negatif, mencerminkan aspek kehidupan yang kompleks, mengekspresikan ketidakpastian hidup, sesuatu yang terlihat aman, tetapi bisa berbahaya, sesuatu yang resonan dalam pikiran manusia.


Manusia, boneka dan agama

Manusia sejak dulu menyukai boneka. Pada masa kuno boneka digunakan sebagai mainan, benda ritual, dan edukasi.

Dari masa ke masa boneka berkembang. Pada awal mula boneka terbuat dari bahan alami yang ada di sekitar manusia, misalnya sisa-sisa pertanian, yaitu batang dan tongkol jagung, jerami, kain perca dan kain tua, kayu dan tanah liat, yang dikerjakan dengan tangan, bahkan sambil bermain.

Dalam perkembangannya boneka dibuat lebih indah dan awet dengan teknologi lebih tinggi, misalnya keramik, kaca, emas, perunggu, perak, batu, plastik, dan bahan sintetis lain.

Bentuk boneka juga bervariasi dari bentuk batang yang kaku hingga robot dan gabungan teknologi kecerdasan manusia sehingga boneka kini mampu bergerak dan melakukan perintah dari orang.

Beberapa agama memiliki batasan tentang boneka, misalnya larangan untuk boneka yang menyerupai manusia, kecuali boneka model untuk kepentingan pendidikan, dan larangan memakai boneka untuk ritual pemujaan, penyembahan berhala.

Kegilaan mengoleksi boneka Labubu terjadi di kalangan orang muda, untuk memuaskan keinginan, mengikuti tren, rela mengurangi uang jajan untuk membeli boneka, khususnya bila harganya puluhan juta, sementara di sekitar kita masih banyak orang yang memerlukan uang untuk menyediakan sepiring nasi.

Ah Labubu, memang menggemaskan sekaligus menakutkan.


*) Maria D. Andriana adalah penulis dan editor, mantan wartawan senior ANTARA