Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Sudarsono Soedomo mengatakan investasi di sektor kehutanan selama ini masih rendah sehingga ke depan perlu upaya peningkatan guna meningkatkan kinerja sektor ini.

Menurut dia, dari total realisasi Penanaman Modal Dalam Negari (PMDN) pada periode 2020-2022 sebesar Rp3.256 triliun, sektor kehutanan hanya mampu menarik investasi sebesar Rp28 triliun.

Sementara dari total Penanaman Modal Asing (PMA) sebesar Rp50.267 triliun di 2023, investasi asing di sektor kehutanan hanya sebesar Rp96 triliun.

"Investasi sekecil itu berbanding terbalik dengan lahan kawasan kehutanan yang begitu luas, dari total luas lahan di Indonesia, sebesar 2/3 merupakan kawasan hutan," ujar Sudarsono Soedomo dalam keterangannya di Jakarta, Senin.

Sementara itu, lanjutnya, bisnis hutan alam semakin menyusut, di sisi lain perkembangan hutan tanaman sangat lambat bahkan stagnan.

Baca juga: KLHK: Investasi sektor kehutanan 2023 melonjak, capai 331,1 juta dolar

Baca juga: Indonesia punya kawasan bukan hutan yang luas untuk hasilkan biomassa


"Dengan menguasai 2/3 lahan, sumbangan sektor kehutanan terhadap PDB (produk domestik bruto) kurang dari 1 persen," ucap Sudarsono dalam sebuah diskusi bertema Menegakkan Transparansi: Peran Media dalam Mengawal Proyek Energi dan Deforestasi di Gorontalo yang digelar di Jakarta.

Sudarsono menambahkan, setiap Rp1 triliun investasi akan menyerap 1.500 tenaga kerja. Dengan investasi yang hanya sebesar Rp28 triliun dalam periode 2020-2022, tenaga kerja yang diserap kehutanan sangat kecil.

"Tanpa perombakan radikal kehutanan di Indonesia tidak punya masa depan. Masalahnya, pemanfaatan hutan sering kali terhambat dengan isu deforestasi," katanya.

Menurut Sudarsono, deforestasi tak selalu berkonotasi negatif. Sebab, mustahil untuk melakukan pembangunan di luar Jawa tanpa terjadi deforestasi. Di Papua, misalnya, pasti akan terjadi deforestasi sebagai akibat pembangunan karena hampir seluruh wilayahnya masih hutan.

Pengelolaan sumber daya alam, termasuk sektor kehutanan yang bertanggung jawab dan berkontribusi besar terhadap ekonomi masyarakat sudah banyak dilakukan di berbagai daerah di Indonesia.

Seperti di Provinsi Gorontalo yang mana sejumlah investor sudah melakukan investasi di antaranya adalah PT Biomassa Jaya Abadi (BJA) yang bermitra dengan PT Inti Global Laksana (IGL) dan PT Banyan Tumbuh Lestari (BTL).

Kemitraan itu telah menggelontorkan investasi sekitar Rp 1,7 triliun dan mampu menyerap tenaga kerja hingga 1.064 pekerja. Mayoritas pekerja tersebut, sekitar 80 persen, merupakan warga lokal.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Energi Biomassa Indonesia (APREBI) Dikki Akhmar mengatakan PT BTL juga membayar pendapatan negara bukan pajak (PNBP) lebih dari Rp40 miliar sejak beroperasi hingga tahun 2024.

Dari angka itu, tambahnya, 60 persen disalurkan ke pemerintah daerah yang selanjutnya akan dibagi 30 persen ke pemerintah provinsi dan sisanya untuk pemerintah kabupaten di mana industri beroperasi.

Sebelumnya Kantor Wilayah (Kanwil) Bea Cukai Sulawesi Bagian Utara memberikan penghargaan kepada PT BJA sebagai penghasil devisa ekspor terbesar di Gorontalo yakni lebih dari 55 persen dari total devisa ekspor provinsi tersebut.

Kepala Kantor Bea Cukai Gorontalo Ade Zirwan mengatakan penghargaan diberikan kepada PT Biomasa Jaya Abadi karena perusahaan tercatat sebagai penyumbang devisa ekspor terbesar di Gorontalo.

"Terjadi peningkatan nilai dan jumlah ekspor PT BJA. Kontribusi devisa hasil ekspor PT BJA mencapai Rp200-an miliar untuk 10 kali ekspor sejak awal tahun 2024 sampai pertengahan Agustus 2024," ujanya.

Baca juga: KLHK: Industri pelet kayu berpotensi tumbuh berkelanjutan di Gorontalo

Baca juga: KLHK: Teknologi dan inovasi optimalkan kinerja industri kehutanan