Beirut (ANTARA) - Laila Moussa (50), seorang ibu dengan empat anak dari Desa Qaraoun di Lebanon timur, sedang tertidur lelap saat sebuah ledakan besar yang dipicu oleh serangan Israel mengguncang rumahnya dan menghancurkan kaca-kaca jendela di segala penjuru.

"Anak-anak saya berteriak, dan saya merasa pusing dan kehilangan keseimbangan," kata Moussa mengenang malam itu dengan suara lirih dan kelelahan.

Dengan aliran listrik yang terputus dan asap serta debu yang menyebar ke segala penjuru, Moussa tidak tahu ke mana dia harus pergi untuk mencari tempat aman di tengah serangan yang terus berlanjut.

"Beberapa menit yang sulit berlalu sebelum saya mendapatkan kembali kekuatan saya. Saya kemudian memindahkan anak-anak saya ke sudut dapur, menunggu fajar untuk melarikan diri dari peristiwa menakutkan itu," kata Moussa.
Asap membubung setelah serangan udara Israel di sekitar kota Mashghara, Lebanon, pada 27 September 2024. (ANTARA/Xinhua/Taher Abu Hamdan)


Dalam beberapa hari terakhir, konfrontasi antara Hizbullah dan Israel meningkat setelah Israel mengumumkan pergeseran fokus militer dari Jalur Gaza ke front utara, yang bertujuan untuk memerangi Hizbullah hingga penduduk di wilayah utara dapat kembali ke rumah mereka dengan selamat.

Eskalasi militer Israel yang dimulai sejak Senin (23/9) mengakibatkan lebih dari 650 kematian, lebih dari 2.000 orang terluka, banyak orang telantar, dan kerusakan pada ribuan rumah serta fasilitas komersial dan industri di seluruh Lebanon.

Badan-badan kemanusiaan PBB pada Kamis (26/9) memperingatkan bahwa aksi kekerasan yang sedang berlangsung di Lebanon memaksa lebih dari 90.000 orang meninggalkan rumah mereka, dengan 70.000 orang memadati 400 sekolah dan lokasi lainnya, yang menyebabkan pengungsian terbesar sejak pecahnya konflik Israel-Hizbullah pada 8 Oktober 2023.
Orang-orang menyiapkan makanan untuk para pengungsi dari Lebanon selatan di Tripoli, Lebanon, pada 26 September 2024. (ANTARA/Xinhua/Khaled Habashiti)


Aisha Hamdan, seorang ibu dari tiga anak asal Desa Maroun al-Ras, terpaksa melarikan diri setelah tempat tinggalnya berubah menjadi medan perang.

"Kami meninggalkan segalanya dan mengemudikan mobil pribadi kami menuju ketidakpastian tanpa menentukan tujuan," kata Hamdan kepada Xinhua.

"Kami menghabiskan malam yang sulit di dalam mobil. Keesokan paginya, kami diarahkan ke sebuah sekolah di daerah Choueifat, tempat kami bertemu dengan sekitar 500 keluarga pengungsi lainnya," kata Hamdan lagi.

Adel Farran, seorang pengungsi lainnya dari Desa Kfar Kila, mengatakan bahwa 80 persen rumah di desanya hancur, dan sisanya tidak dapat dihuni.

"Kami menghabiskan sekitar 10 jam di jalan hingga sampai di Rashaya," kata Farran, seraya menyatakan bahwa perjalanan tersebut biasanya hanya memakan waktu kurang dari 45 menit.

"Kami merasakan kepedihan yang mendalam. Kami kehilangan nyaris segalanya," kata Farran lagi.
Orang-orang mencari sesuatu di antara reruntuhan setelah serangan udara Israel di Aaqbiyeh, Lebanon, pada 24 September 2024. (ANTARA/Xinhua/Ali Hashisho)


Seorang koordinator di Palang Merah Lebanon Talal Halabi mengatakan kepada Xinhua mereka berusaha keras untuk meringankan penderitaan para pengungsi dengan menyediakan kasur, air, bahan pembersih, dan kantong-kantong makanan.

"Kami juga berjuang untuk memfasilitasi para dokter dalam melakukan pemeriksaan dan memberikan pengobatan gratis, terutama untuk pasien dengan tekanan darah tinggi, diabetes, dan kasus-kasus sulit yang membutuhkan perawatan khusus," Halabi menambahkan.