“Hari ini kami hadir di sini bukan untuk membuka kembali kenangan sedih saat musibah gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi enam tahun yang lalu. Akan tetapi untuk memberikan doa dan mengagungkan kebesaran dan kekuasaan Tuhan. Semoga arwah para korban diterima di sisi-Nya, dan mudah-mudahan doa kita dikabulkan-Nya,” kata Rudy Wijaya.
Ia mengemukakan peringatan ini bertujuan bukan untuk membuka kembali kenangan sedih bagi korban yang selamat, keluarga yang ditinggalkan serta masyarakat Palu, Sigi, dan Donggala pada umumnya.
Menurutnya, enam tahun sejak musibah yang merenggut banyak korban jiwa tersebut berlalu, sehingga berbagai kenangan masih terukir di benak warga kota.
"Harapannya semua mengambil hikmah bahwa semua peristiwa dan bencana yang terjadi di atas bumi dan alam semesta ini, tidak ada yang terjadi begitu saja dengan sendirinya, melainkan sesuai kehendak dan ketentuan Tuhan," sebutnya.
Ia mengajak untuk masyarakat Kota Palu khususnya senantiasa berdoa dan bertawakal sebagai salah satu upaya untuk terus menerus mempersiapkan diri dalam menghadapi gempa dan tsunami, likuefaksi atau bencana lainnya wajib juga dilakukan.
Baca juga: BMKG tingkatkan keandalan respon peringatan dini gempa-tsunami di Palu
"Buku itu setebal 150 halaman itu berisi suasana terjadinya gempa dahsyat yang membuat warga kalang kabut di malam yang gelap. Warga semakin panik ternyata gempa disertai tsunami," kata Tasman.
Dalam buku itu menggambarkan perumahan di Balaroa dan Petobo bisa tenggelam serta rumah dan pohon di Kabupaten Sigi bisa berjalan berpindah tempat cukup jauh.
Menurutnya isi buku itu menyajikan bantuan dari berbagai penjuru berdatangan ke Palu dan para sukarelawan dari luar negeri pun datang ikut membantu.
Baca juga: Menko: Huntap warga terdampak likuefaksi Sulteng harus selesai 2024
Baca juga: Presiden nyatakan infrastruktur Sulteng telah pulih pascatsunami