Jakarta (ANTARA) - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) memaparkan alasan mengapa stunting dapat meningkatkan risiko terjangkit tuberkulosis atau TBC.

“Stunting dapat meningkatkan risiko TBC aktif karena imunitas yang menurun akibat masalah gizi, sedangkan TBC yang tidak segera diobati dapat mempengaruhi pertumbuhan anak dan bisa menyebabkan stunting. Penurunan nafsu makan pada anak yang terinfeksi TBC juga dapat menyebabkan tidak tercukupinya gizi anak untuk tumbuh dan berkembang”, kata Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga (KSPK) BKKBN Nopian Andusti dalam keterangan resmi di Jakarta, Jumat.

Ia menyampaikan hal tersebut dalam Kelas Orang Tua Hebat (Kerabat) seri kesembilan tahun 2024 dengan tema “Kenali dan Cegah Tuberkulosis (TBC) pada Anak Usia Dini” yang dilaksanakan secara hybrid pada Kamis (26/9).

Nopian menyebutkan, Indonesia termasuk delapan besar negara yang menyumbang kasus TBC terbesar.

“Indonesia termasuk delapan negara yang menyumbang 2/3 kasus TBC di seluruh dunia. Hasil survei tertulis tahun 2023 menunjukkan bahwa prevalensi TBC paru berdasarkan kelompok umur di bawah satu tahun yaitu 0,08 persen, umur 1-4 tahun 0,42 persen, dan kelompok 5-12 tahun 0,18 persen,” ujar dia.

Menurut dia, edukasi dini terkait TBC juga sangat penting, utamanya kepada orang tua melalui kader Bina Keluarga Balita (BKB).

“Melalui kelas orang tua hebat, semoga dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman orang tua, kader BKB dan peserta mengenai penyakit tuberkulosis dan pencegahannya pada anak usia dini, karena TB dan stunting merupakan masalah kesehatan yang saling berkaitan,” ucapnya.

Sementara itu, Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi yang juga pernah menjabat sebagai Kepala BKKBN tahun 2019-2024 Hasto Wardoyo mengatakan, peningkatan kasus TBC di tahun 2022 meningkat drastis, sehingga ia menekankan pentingnya vaksin Bacillus Calmette Guérin (BCG) yang diberikan pada anak sebelum usia satu bulan untuk mencegah penyakit tersebut.

“Naiknya kasus TBC di tahun 2022 setelah pandemi itu sangat pesat. TBC kalau pada balita itu cukup serius karena akan mengganggu pertumbuhan, sekaligus otak juga akan terganggu perkembangannya,” kata Hasto.

Ia juga menyoroti pentingnya orang tua memahami TBC resisten obat.

“Hari ini ada TBC yang resisten obat, ibu-ibu semua hati-hati, betul vaksin itu penting sekali, begitu lahir anak divaksin untuk mencegah kejadian TBC karena TBC meningkat terus, kemudian ada TBC yang jenis baru, kebal terhadap obat. Jadi kalau TBC itu kebal terhadap obat, maka dikasih obat apa saja ya tidak mempan,” tuturnya.

Hasto juga menyampaikan pentingnya memberikan kesadaran kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga kesehatan lingkungan karena TBC juga disebabkan oleh rumah yang kumuh.

“Jadi, rumah-rumah yang kumuh dan kurang ventilasi dan lembab itu kemudian mereka cepat sekali (penularannya), bisa kalau satu ada yang kena TBC, kemudian juga menular kepada yang lain,” paparnya.

Untuk diketahui, anak-anak di bawah umur lima tahun termasuk kelompok yang rentan terkena TBC. Berdasarkan data Kemenkes, ada 100.726 anak di Indonesia yang terjangkit TBC pada tahun 2022. Jumlah tersebut merupakan anak berusia 0-14 tahun. Secara rinci, ada 57.024 anak yang terkena TBC berusia 0-4 tahun.

Baca juga: Dokter Spesialis: Pentingnya orang tua paham gejala TB pada anak
Baca juga: Dokter: Ibu menyusui dengan riwayat TB boleh berikan ASI kepada anak