Jakarta (ANTARA) - Akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) Agus Wahyudi mengatakan bahwa penerapan demokrasi bisa dipakai untuk mencari atau membuat sebuah kebijakan yang manfaatnya bisa dirasakan banyak orang.

Ia membeberkan, secara konseptual melalui demokrasi masyarakat bisa mencapai kesepakatan bersama atau konsensus, contohnya seperti pemilihan presiden maupun pemilihan kepala daerah (pilkada).

"Dalam demokrasi ada kesetaraan, semua masyarakat bisa memilih atau memerintah," kata dosen Fakultas Filsafat UGM itu dalam diskusi daring dengan tema "Filsafat Demokrasi Digital: Apa dan Bagaimana relevansi Pancasila", yang diselenggarakan oleh Pusat Riset Masyarakat dan Budaya BRIN yang dipantau ANTARA di Jakarta, Jumat.

Lebih lanjut dia membeberkan, demokrasi di era digital saat ini juga menjadi tantangan bagi penerapan nilai-nilai Pancasila.

Isu terkait penguasaan teknologi juga berpotensi menciptakan ketimpangan di tengah masyarakat.

"Kenyataan bahwa setiap kehadiran teknologi menciptakan ketimpangan, dalam artian ketimpangan tentang siapa yang mengontrol dan kemudian menerima manfaat dari perkembangan itu," ujar pemilik gelar Doctor of Philosophy (PhD) tersebut.

Kalau bicara tentang Pancasila, lanjut Agus, ketimpangan itu akan bertentangan dengan standar moral yang ingin kehidupan manusia bisa setara atau sama, sehingga tidak ada perbedaan.

Menurut dia, meski kesetaraan yang sempurna tidak ada, tetapi minimal tidak terjadi perbedaan atau gap yang terlalu jauh, sehingga penguasaan teknologi tidak dikuasai oleh segelintir orang atau korporasi saja.

Ketua Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM itu mengingatkan, jangan sampai perkembangan demokrasi digital menciptakan 'digitariat' yang sama dengan kaum proletariat atau kelas sosial rendah dalam sistem kehidupan sosial.

"Jadi ini tantangan yang sebenarnya bukan hanya dialami Indonesia, tetapi dunia, sehingga Pancasila menyetujui arti penting bahwa kontrol teknologi paling tidak harus disetarakan," ujar Agus.