"Kiai Kanjeng" sajikan "Komposisi Jalan Sunyi" di Festival Lima Gunung
27 September 2024 12:36 WIB
Suasana pementasan repertoar seni "Komposisi Jalan Sunyi" disuguhkan grup "Kiai Kanjeng" Yogyakarta di "Panggung Semut Ireng" Festival Lima Gunung XXIII/2024 di Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Kamis (26/9/2024) malam. ANTARA/Hari Atmoko
Magelang (ANTARA) - Grup musik "Kiai Kanjeng" Yogyakarta menyajikan pementasan repertoar berjudul "Komposisi Jalan Sunyi" pada puncak rangkaian Festival Lima Gunung XXIII/2024 di Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Kamis (26/9) malam hingga Jumat dini hari.
Sejumlah lagu religi dan pembacaan puisi serta refleksi tentang situasi sosial, budaya, kemanusiaan, demokrasi, dan religiusitas dibawakan dalam musik kontemporer serta Islami oleh grup yang didirikan budayawan Yogyakarta, Emha Aiun Nadjib (Cak Nun) itu.
Cak Nun sahabat budayawan dan pendiri Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang (penyelenggara Festival Lima Gunung), Sutanto Mendut.
Baca juga: Garin: Festival Lima Gunung bertahan lama karena modal sosial
"Kami (Grup 'Kiai Kanjeng') berinisiatif untuk hadir mengikuti Festival Lima Gunung, terlebih Cak Nun (sedang sakit, red.) sejak lama bersahabat yang tulus dengan Mas Tanto (Sutanto Mendut)," ujar salah satu personel "Kiai Kanjeng" Yoyok Prasetyo di Magelang, Jumat.
Pada pementasan itu, Tanto Mendut juga menyaksikan dengan duduk bersila di tengah para penonton dan warga setempat di area panggung festival.
Gerimis terlihat reda dan ketiga grup itu memulai pementasan dengan doa secara Islami bersama-sama penonton dalam waktu singkat. Pementasan berlangsung pada Kamis (26/9), mulai sekitar pukul 23.00 hingga Jumat, sekitar pukul 01.00 WIB.
Baca juga: Disparora: Festival Lima Gunung penting bagi pariwisata Magelang
Repertoar musik dan puisi, serta dialog disuguhkan "Kiai Kanjeng" di Panggung "Semut Ireng", FLG XXIII (25-29 September 2024) yang diselenggarakan secara mandiri oleh seniman petani dan pegiat KLG itu, antara lain lagu dan musik "Bang-Bang Wetan", "Rampak Terbang" dan "Rampak Osing", "Manungso", dan "Ya Thoybah".
Beberapa puisi yang dibacakan dengan iringan musik dalam repertoar itu, antara lain berjudul "Jalan Sunyi", "Puisi Hijrah", "Pacul Segoro", dan "Manungso", sedangkan pada sesi akhir, kelompok tersebut mengajak penonton melakukan "Mahalul Qiyam" untuk mendaraskan doa dan sholawat.
Pada hari kedua puncak FLG, sepanjang Kamis (26/8) siang hingga Jumat dini hari, beberapa kesenian, seperti tarian, musikalisasi puisi, pantomim, repertoar seni, dan musik, dihadirkan oleh beberapa kelompok kesenian, baik dari desa-desa setempat maupun luar daerah itu.
Festival Lima Gunung XXIII dengan tema "Wolak-Waliking Jaman Kelakone". Warga desa di kawasan Gunung Merapi dan Merbabu Kabupaten Magelang mendirikan panggung besar dengan instalasi seni dari berbagai bahan alam, termasuk instalasi 25 semut ireng ukuran raksasa ditempatkan di tempat tertinggi panggung tersebut.
Sedikitnya 120 grup kesenian dari kelompok-kelompok Komunitas Lima Gunung, daerah setempat dan luar Magelang, serta beberapa dari luar negeri tercatat mengikuti Festival Lima Gunung XXIII/2024 dengan menggelar berbagai pementasan kesenian.
Yoyok mengatakan repertoar "Komposisi Jalan Sunyi" menjadi respons "Kiai Kanjeng" atas tema Festival Lima Gunung tahun ini, "Wolak-Waliking Jaman Kelakone". Tema festival itu sebagai refleksi, pemikiran, dan harapan Komunitas Lima Gunung terkait dengan perubahan zaman, kehidupan manusia, dan lingkungan alam.
Baca juga: Menemukan banyu "perwitasari" di Festival Lima Gunung
Baca juga: Bidan Kabupaten Magelang pentas Soreng Cingan di Festival Lima Gunung
"Perubahan pasti terjadi, maka dengan jalan sunyi bukan berarti 'meneng' (diam), tetapi mandiri, seperti Festival Lima Gunung bertahun-tahun dilakukan secara mandiri (tanpa sponsor dan donatur), termasuk mereka yang menyuguhkan pementasan juga secara mandiri," katanya.
Ketua Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang Sujono mengatakan beberapa kali para seniman petani komunitas itu mendapat kesempatan menggelar pementasan kesenian rakyat pada agenda rutin seni, budaya, dan religiusitas yang dikenal sebagai "Maiyah", diselenggarakan "Kiai Kanjeng" setiap bulan di markasnya, Bantul, Yogyakarta.
Sejumlah lagu religi dan pembacaan puisi serta refleksi tentang situasi sosial, budaya, kemanusiaan, demokrasi, dan religiusitas dibawakan dalam musik kontemporer serta Islami oleh grup yang didirikan budayawan Yogyakarta, Emha Aiun Nadjib (Cak Nun) itu.
Cak Nun sahabat budayawan dan pendiri Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang (penyelenggara Festival Lima Gunung), Sutanto Mendut.
Baca juga: Garin: Festival Lima Gunung bertahan lama karena modal sosial
"Kami (Grup 'Kiai Kanjeng') berinisiatif untuk hadir mengikuti Festival Lima Gunung, terlebih Cak Nun (sedang sakit, red.) sejak lama bersahabat yang tulus dengan Mas Tanto (Sutanto Mendut)," ujar salah satu personel "Kiai Kanjeng" Yoyok Prasetyo di Magelang, Jumat.
Pada pementasan itu, Tanto Mendut juga menyaksikan dengan duduk bersila di tengah para penonton dan warga setempat di area panggung festival.
Gerimis terlihat reda dan ketiga grup itu memulai pementasan dengan doa secara Islami bersama-sama penonton dalam waktu singkat. Pementasan berlangsung pada Kamis (26/9), mulai sekitar pukul 23.00 hingga Jumat, sekitar pukul 01.00 WIB.
Baca juga: Disparora: Festival Lima Gunung penting bagi pariwisata Magelang
Repertoar musik dan puisi, serta dialog disuguhkan "Kiai Kanjeng" di Panggung "Semut Ireng", FLG XXIII (25-29 September 2024) yang diselenggarakan secara mandiri oleh seniman petani dan pegiat KLG itu, antara lain lagu dan musik "Bang-Bang Wetan", "Rampak Terbang" dan "Rampak Osing", "Manungso", dan "Ya Thoybah".
Beberapa puisi yang dibacakan dengan iringan musik dalam repertoar itu, antara lain berjudul "Jalan Sunyi", "Puisi Hijrah", "Pacul Segoro", dan "Manungso", sedangkan pada sesi akhir, kelompok tersebut mengajak penonton melakukan "Mahalul Qiyam" untuk mendaraskan doa dan sholawat.
Pada hari kedua puncak FLG, sepanjang Kamis (26/8) siang hingga Jumat dini hari, beberapa kesenian, seperti tarian, musikalisasi puisi, pantomim, repertoar seni, dan musik, dihadirkan oleh beberapa kelompok kesenian, baik dari desa-desa setempat maupun luar daerah itu.
Festival Lima Gunung XXIII dengan tema "Wolak-Waliking Jaman Kelakone". Warga desa di kawasan Gunung Merapi dan Merbabu Kabupaten Magelang mendirikan panggung besar dengan instalasi seni dari berbagai bahan alam, termasuk instalasi 25 semut ireng ukuran raksasa ditempatkan di tempat tertinggi panggung tersebut.
Sedikitnya 120 grup kesenian dari kelompok-kelompok Komunitas Lima Gunung, daerah setempat dan luar Magelang, serta beberapa dari luar negeri tercatat mengikuti Festival Lima Gunung XXIII/2024 dengan menggelar berbagai pementasan kesenian.
Yoyok mengatakan repertoar "Komposisi Jalan Sunyi" menjadi respons "Kiai Kanjeng" atas tema Festival Lima Gunung tahun ini, "Wolak-Waliking Jaman Kelakone". Tema festival itu sebagai refleksi, pemikiran, dan harapan Komunitas Lima Gunung terkait dengan perubahan zaman, kehidupan manusia, dan lingkungan alam.
Baca juga: Menemukan banyu "perwitasari" di Festival Lima Gunung
Baca juga: Bidan Kabupaten Magelang pentas Soreng Cingan di Festival Lima Gunung
"Perubahan pasti terjadi, maka dengan jalan sunyi bukan berarti 'meneng' (diam), tetapi mandiri, seperti Festival Lima Gunung bertahun-tahun dilakukan secara mandiri (tanpa sponsor dan donatur), termasuk mereka yang menyuguhkan pementasan juga secara mandiri," katanya.
Ketua Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang Sujono mengatakan beberapa kali para seniman petani komunitas itu mendapat kesempatan menggelar pementasan kesenian rakyat pada agenda rutin seni, budaya, dan religiusitas yang dikenal sebagai "Maiyah", diselenggarakan "Kiai Kanjeng" setiap bulan di markasnya, Bantul, Yogyakarta.
Pewarta: M. Hari Atmoko
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2024
Tags: