"Salah satu prioritas (program) kami adalah bagaimana mengendalikan impor itu, di samping menyelesaikan (turunan) peraturan perundangan terkait Undang-Undang Perindustrian," kata Sekjen Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Anshari Bukhari, di Bandung, Jawa Barat, Minggu.
Anshari Bukhari mengatakan sekitar 64 persen industri -- yang banyak mengandalkan bahan impor -- tersebut mendominasi nilai produksi industri nasional sebesar 80 persen, serta menyumbang 65 persen penyerapan tenaga kerja.
"Industri yang banyak impor (bahan baku, penolong, dan barang modal) itu ada pada sembilan kelompok," katanya.
Sembilan kelompok itu adalah industri permesinan dan logam, otomotif, elektronika, kimia dasar, makanan dan minuman, pakan ternak, tekstil dan produk tekstil (TPT), barang kimia lainnya, serta pulp dan kertas.
Bahkan menurut data Kemenperin, enam diantara sembilan industri tersebut neracanya defisit, dimana impor lebih besar dibandingkan ekspor.
Total impor bahan baku dan bahan penolong dari 64 persen industri nasional itu mencapai sekitar 67,9 persen, impor barang modalnya mencapai 24,6 persen, dan impor barang konsumsinya 7,5 persen.
"Oleh karena itu ke depan kami ingin segera bisa menanggulanginya dengan antara lain mempercepat program hilirisasi agar ketergantungan bahan baku semakin kecil," katanya.
Selama ini, Anshari mencontohkan, banyak sumber daya alam Indonesia baik di bidang agro maupun mineral diekspor dalam keadaan mentah, kemudian diolah di negara lain menjadi barang semijadi, dan diimpor ke Indonesia sebagai bahan baku atau bahan penolong.
"Karena itulah pemerintah mengamanatkan agar bahan mentah wajib diolah di dalam negeri, agar industri hilirnya tumbuh dengan struktur yang kuat," katanya.
Lebih jauh ia berharap Pameran Produksi Indonesia (PPI) ke-2 yang diselenggarakan pada 22-25 Mei 2014 di Bandung, Jawa Barat, mampu menjadi ajang unjuk kemampuan industri nasional.
(R016/A011)