Jakarta (ANTARA) - Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi yang tumbuh dalam tradisi Indonesia yang puritan diakui atau tidak mengalami puncak intelektualitas di masa kepemimpinan Kiai Haji Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, pada akhir 1980-an hingga 1990-an. Di bawah kepemimpinannya, NU tidak hanya menguatkan tradisi keagamaan, tetapi juga terlibat aktif dalam isu-isu sosial, politik, dan pendidikan, serta mendorong pemikiran yang progresif dalam Islam.

Untuk menguatkan pandangan ini, ada beberapa indikator penting sebagai alasan.

Pertama, reformasi pemikiran. Sebagai intelektual yang berpikir independen, Gus Dur memperkenalkan pemikiran yang lebih liberal dan terbuka, mendorong diskusi tentang isu-isu kontemporer, seperti demokrasi, hak asasi manusia, dan pluralisme.

Reformasi pemikiran ini ternyata mampu menstimulasi anak-anak muda NU bergerak ke tengah dan ikut terlibat pada wacana-wacana besar kebangsaan yang lebih populis. Padahal, jauh sebelum Gus Dur memimpin NU, mereka yang hidup dalam tradisi sarungan ini tidak memiliki keberanian sedikit pun untuk bicara hal-hal yang cenderung profan itu.

Keberanian Gus Dur untuk menerobos kebekuan berpikir itu juga dipicu oleh kekesalan dirinya melihat realitas anak muda NU yang enggan terlibat pada isu-isu besar kebangsaan Indonesia.

Gus Dur menyampaikan teguran keras pada Kongres Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang diadakan di Surabaya pada tahun 1998. Dalam pidatonya, ia menekankan pentingnya kualitas dan kemampuan, serta menyindir anak-anak PMII yang kalah jauh dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dalam berbagai aspek. Pidato ini menjadi salah satu momen penting dalam sejarah organisasi mahasiswa di Indonesia.

Kedua, keterlibatan sosial. Gus Dur dinilai banyak kalangan sangat aktif dalam memperjuangkan keadilan sosial dan hak-hak minoritas. Ia berhasil menjadikan NU sebagai suara bagi kaum tertindas dan mendorong anggotanya untuk berkontribusi di masyarakat. Tradisi terlibat dalam menyuarakan suara keadilan ini masih terpelihara dalam berbagai kegiatan lembaga "Wahid Institute", yang kini dikomandani puterinya, Yenny Wahid.

Ketiga, pendidikan dan kaderisasi. Gus Dur mendorong peningkatan kualitas pendidikan di pesantren dan lembaga NU, serta membentuk kader-kader yang cerdas dan kritis, yang memperkuat basis intelektual NU. Di zaman Gus Dur, tindakan kongkret dari gerakan pendidikan NU ini belum sepenuhnya terlaksana dengan baik. Puncak intelektualitas NU dalam artian pelembagaan kaderisasi yang formal adalah dengan pendirian Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) pada saat NU di bawah kepemimpinan K.H. Said Agil Siradj.

Di saat Kiai Said-lah, NU semarak mendirikan kampus-kampus modern, sebagaimana layaknya Muhammadiyah. Sayangnya, pelanjut Kiai Said, tidak terlihat memiliki ghirah yang sama untuk meningkatkan dan memperluas sebaran kampus UNU di Indonesia. Kondisi ini tentu sangat disayangkan sebab kemajuan warga Nadhliyin itu menjadi kunci kemajuan bangsa Indonesia.

Keempat, dialog antaragama. Gus Dur juga mengedepankan pentingnya dialog antaragama, mengurangi ketegangan sosial dan membangun kesadaran akan keberagaman dalam masyarakat Indonesia. Di mata Gus Dur, dialog antaragama akan menghilangkan syak wasangka di antara sesama anak bangsa. Mendialogkan sesuatu yang semula tabu adalah penting dalam konteks mendewasakan anak-anak bangsa yang kebetulan berbeda agama.

Melalui empat hal tersebut ternyata Gus Dur berhasil mengangkat intelektualitas NU ke level yang lebih tinggi, menjadikannya sebagai lembaga yang relevan dan progresif.


Masuk lingkungan global

Gus Dur menganjurkan NU membuka diri terhadap lingkungan global karena beberapa alasan. Pertama, untuk memperkuat jaringan internasional. Dengan beradaptasi dan terhubung dengan pemikiran global, NU bisa memperkuat posisinya di kancah internasional dan menjalin kerja sama dengan organisasi lain yang sejalan.

Kedua, mendorong dialog dan pemahaman. Keterbukaan terhadap dunia luar memungkinkan NU untuk terlibat dalam dialog antarbudaya dan antaragama, yang penting untuk menciptakan pemahaman dan toleransi di tengah masyarakat yang beragam.

Ketiga, menanggapi tantangan modern. Dengan memahami isu-isu global, NU dapat lebih siap menghadapi tantangan modern, seperti ekstremisme, ketidakadilan sosial, dan krisis lingkungan, kemudian memberikan solusi yang relevan.

Keempat, peningkatan kualitas pendidikan. Mengakses sumber daya dan pemikiran global dalam pendidikan dapat meningkatkan kualitas pengajaran di pesantren dan lembaga NU, membentuk generasi yang lebih kritis dan inovatif.

Melalui pendekatan ini, Gus Dur berusaha menjadikan NU sebagai organisasi yang responsif dan adaptif terhadap perubahan zaman.


Yayasan Simon Peres

Gus Dur sempat menjadi seorang tertuduh karena bersedia bergabung dengan Yayasan Shimon Peres. Hal ini juga membuat Umat Islam menempatkan dia sebagai "musuh" Umat Islam, sebab Yayasan Simon Peres tidak lepas dari Zionisme Israel yang menjadi musuh Palestina.

Namun ia menghadapinya dengan rileks. Ada alasan keterlibatan Gus Dur di lembaga itu yang tidak dapat dipahami sepenuhnya oleh umat kebanyakan.

Keterlibatan Gus Dur dimaksudkan sebagai upaya promosi perdamaian karena ia memiliki komitmen kuat terhadap dialog dan perdamaian, terutama di tengah konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia. Bergabung dengan yayasan tersebut sejalan dengan visinya untuk menciptakan dunia yang lebih harmonis.

Selain itu untuk kepentingan dialog antaragama dan budaya, mengingat yayasan tersebut fokus pada dialog antarbudaya dan antaragama. Gus Dur percaya bahwa pemahaman dan penghargaan terhadap perbedaan sangat penting untuk mencegah konflik dan membangun kerukunan.

Gus Dur juga melihat peluang untuk mendukung inisiatif pendidikan dan kemanusiaan yang diusung oleh yayasan, yang dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat.

Dengan bergabung, Gus Dur berusaha mengintegrasikan nilai-nilai toleransi dan kerukunan dalam konteks global.


*) Fathorrahman Fadli adalah Direktur Eksekutif Indonesia Development Research (IDR)