"Itu bukan kompentensi kepentingan kami untuk menanggapi. Kami tidak akan merekomendasikan. Menteri ada di bawah presiden. Itu urusan presiden dan kewajiban presiden," kata Wakil Ketua KPK, Busyro Muqqodas, di Jakarta, Jumat.
KPK, lanjut Busyro, juga tidak akan menanggapi pernyataan Suryadharma Ali bahwa KPK salah paham karena telah menetapkannya sebagai tersangka.
"Yang jelas, kami sudah punya dua alat bukti yang cukup dan kami paham benar bahwa dua alat bukti itu cukup sehingga kami tetapkan sebagai tersangka," kata Busyro.
KPK masih menghitung jumlah kerugian negara dari kasus dugaan korupsi Penyelenggaraan Haji Tahun Anggaran 2012/2013 dari anggaran penyelenggaraan yang mencapai lebih dari Rp1 triliun.
"Kami sampaikan, kasus ini mengenai panitia pelaksanaan ibadah haji, yang lain masih dalam pendalaman. Ada indikasi kuota calon jamaah haji yang diduga digunakan oleh sejumlah nama yang ikut dalam rombongan menteri agama," katanya.
Kuota calon jamaah haji yang diduga digunakan oleh sejumlah nama dalam rombongan menteri agama itu berjumlah kurang dari 100 orang.
"Tapi, masalahnya apakah kuota ini hak dari calon jamaah haji sehingga kemudian diambil oleh orang-orang atau nama-nama yang sesungguhnya tidak bisa masuk dalam kualifikasi sebagai petugas haji," kata Busyro.
Wakil Ketua KPK mengatakan kuota haji itu seharusnya diprioritaskan untuk calon jamaah haji yang sudah menunggu untuk beribadah haji selama bertahun-tahun.
"Pertanyaannya, kalau diduga dipergunakan oleh orang yang berstatus petugas haji. Jika tidak memenuhi kriteria petugas haji, berarti abuse of power sehingga pasal yang diterapkan adalah Pasal 2 dan Pasal 3 Tindak Pidana Korupsi," katanya.
Busyro menambahkan lembaganya telah mengajukan moratorium haji dari kajian penyelenggaraan haji Tahun Anggaran 2012/2013, tapi tidak diapresiasi oleh Kementerian Agama.
Suryadharma Ali disangkakan Pasal 2 ayat (1) serta Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 2 ayat (1) UU No. 30 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 berbunyi setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Sedangkan Pasal 3 UU No. 30 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 berbunyi Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
(I026/Z003)