Jakarta (ANTARA) - Kepala Departemen Pengembangan Pasar Keuangan (DPPK) Bank Indonesia Donny Hutabarat memaparkan tiga alasan mengapa harus membentuk Central Counterparty (CCP).

CCP merupakan Infrastruktur Pasar Keuangan (IPK) yang menjalankan fungsi kliring sentral dalam transaksi pasar uang dan pasar valuta asing (PUVA) dengan sekaligus menempatkan posisi sebagai penjamin di antara para pihak yang melakukan transaksi.

Tujuannya adalah memitigasi risiko kegagalan transaksi antarpihak (counterparty risk), risiko likuiditas (liquidity risk), dan risiko karena volatilitas harga pasar (market risk).

“(Alasan) pertama adalah itu (CPP) komitmen kita terhadap mandat G20 untuk OTC (Over-The-Counter) Derivatives Market Reform, di mana Indonesia menjadi salah satu anggota G20. Ini (CPP) berguna untuk mitigasi risiko sistemik di pasar keuangan dan ini waktu Financial Stability Board/FSB Country Peer Review tahun 2021 (menjadi) salah satu yang direkomendasikan Indonesia,” ujarnya dalam Taklimat Media Bank Indonesia di Gedung Thamrin BI Jakarta, Selasa.

Kewajiban pembentukan CPP lainnya ialah adanya keselarasan dengan penerapan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) yang memberikan mandat kepada BI untuk mengatur, mengembangkan, dan mengawasi PUVA, termasuk IPK. Artinya, implementasi CPP yang merupakan IPK telah memiliki legal basis kuat di level UU.

Terakhir, CCP merupakan inisiatif utama dalam Blueprint Pengembangan Pasar Uang (BPPU) 2025 dan mendukung implementasi operasi moneter pro-pasar untuk mengakselerasi pendalaman PUVA.

“Saat ini, kita lihat transaksi yang terjadi sekarang kan over the counter, transaksi dilakukan secara bilateral dan netting dilakukan bilateral, counter party risk juga bilateral, kemudian liquidity risk-nya juga bilateral, market risk bilateral, jadi cukup kompleks. CPP (menyederhanakan itu semua). Begitu diimplementasikan, CCP akan melakukan transaksi bilateral, tetapi akan dilakukan multilateral kliring di CCP-nya,” ucap dia.

Adapun dampak pembentukan CCP adalah transaksi PUVA lebih efisien, sehingga volume transaksi dan likuiditas lebih besar, penentuan suku bunga dan nilai tukar lebih efektif, serta pelaku pasar utama lebih aktif. Kedua ialah mendukung efektivitas kebijakan moneter dan stabilitas nilai tukar rupiah, serta mendukung sistem stabilitas keuangan (SKK) agar terjaga.

Terakhir, CPP memfasilitasi instrumen lindung nilai (hedging) bagi perbankan dan dunia usaha, para investor, penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) pemerintah, dunia usaha, maupun pembiayaan perekonomian nasional.

Donny menegaskan bahwa pengembangan CPP bertujuan untuk mendorong pendalaman PUVA guna mendukung transmisi kebijakan moneter dan memelihara SKK melalui penurunan segmentasi pasar dan peningkatan efisiensi pasar.

Pembentukan CPP ini merupakan hasil kolaborasi Bank Indonesia (BI), Bursa Efek Indonesia, Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI), Bank Mandiri, BRI, BNI, BCA, CIMB Niaga, Danamon, Maybank, dan Permata Bank.

“Pemilik CCP ini adalah Bursa Efek, yang memiliki sebagai pemegang saham KPEI dan kemudian Bank Indonesia, dan pembentukan CCP ini dilakukan secara konsorsium dengan delapan bank piloting. Kalau misalnya nanti ada bank lain juga akan mau masuk ke sini, mereka silakan (masuk sebagai anggota CCP),” ungkap Donny.

“Produk awal yang akan dikliringkan di CPP ini adalah produk yang namanya Domestic Non Deliverable Forward (DNDF). Produk ini memang liquidity-nya sudah ada dan produk ini juga produk standar. Jadi, ini akan menjadi eligible dikliringkan di CPP,” katanya menambahkan.

Baca juga: BI masih perkirakan pertumbuhan ekonomi RI 4,7-5,5 persen pada 2024
Baca juga: BI sebut modal asing masuk bersih di Indonesia capai Rp25,60 triliun