Jakarta (ANTARA) - Indonesia masih menghadapi tantangan dalam mewujudkan Indonesia emas, salah satunya adalah masalah gizi. Tantangan utamanya yang harus dihadapi adalah tiga beban masalah gizi atau triple burden of malnutrition, yakni kekurangan gizi, kelebihan gizi, dan kekurangan zat mikro.

Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan bahwa prevalensi balita yang mengalami stunting masih pada angka 21,5 persen, underweight (berat badan kurang) 15,9 persen, wasting (kurus) 8,5 persen, dan obesitas 4,2 persen. Kondisi tersebut tidak hanya dialami balita, tetapi juga terjadi pada anak usia sekolah.

Padahal masalah gizi merupakan salah satu kunci untuk mencapai kualitas sumber daya manusia (SDM) yang sehat, cerdas, produktif, dan berdaya saing. Salah satu kendala yang harus dihadapi adalah belum terpenuhinya kebutuhan masyarakat terhadap pangan dan gizi.

Peneliti dari Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi, Organisasi Riset Kesehatan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dr Yekti Widodo mencatat pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap pangan dan gizi akan berdampak besar pada pembangunan sumber daya manusia.

Pemenuhan pangan dan gizi juga merupakan fondasi yang kokoh untuk mencapai kesehatan, pendidikan, produktivitas, dan kesejahteraan yang lebih baik. Hanya saja, belum semua masyarakat dapat mengakses dan mengonsumsi makanan bergizi dan aman.

Kondisi itu disebabkan oleh banyak faktor penyebab, seperti keterbatasan ekonomi, pengetahuan, ketersediaan dan keterjangkauan serta preferensi individu.

Masyarakat cenderung mengonsumsi makanan yang kurang beragam dan bergizi seimbang. Hasil SKI 2023 juga menunjukkan bahwa 86,7 persen masyarakat yang berusia lima tahun ke atas kurang mengonsumsi sayur. Bahkan, 11,8 persen tidak pernah mengonsumsi sayur. Tidak hanya konsumsi sayur, konsumsi protein hewani di Indonesia juga masih perlu ditingkatkan.

Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2022 menyebutkan konsumsi protein per kapita masyarakat Indonesia sudah berada di atas standar kecukupan konsumsi protein nasional, yaitu 62,21 gram, namun untuk protein sumber hewani masih harus ditingkatkan, yaitu dari kelompok ikan/udang/cumi/kerang 9,58 gram, daging 4,79 gram, telur dan susu 3,37 gram.

Padahal, konsumsi protein hewani memiliki peranan besar dalam mencegah terjadinya permasalahan gizi di Tanah Air. Status gizi sangat penting karena merupakan salah satu faktor risiko terjadinya kesakitan dan kematian pada anak.

Pada kasus stunting, misalnya, dalam jangka pendek akan menyebabkan perkembangan otak suboptimal dan terganggunya perkembangan kognitif, sehingga kemampuan belajar anak tidak optimal. Sementara dalam jangka panjang, para ahli meyakini anak yang mengalami stunting rentan terhadap penyakit tidak menular, peningatan risiko penyakit degeneratif, dan kesulitan bersaing di dunia kerja, sehingga produktivitasnya rendah.

Ahli Gizi Kesehatan Masyarakat dari Universitas Indonesia Prof Sandra Fikawati menjelaskan asupan protein hewani sangat penting bagi tubuh manusia yang membutuhkan setidaknya 20 jenis asam amino esensial. Sebanyak sembilan dari 20 jenis asam amino esensial tersebut harus didapatkan dari makanan. Protein hewani memiliki asam amino esensial yang lebih lengkap dibandingkan protein nabati.

Hasil studi Action Against Stunting Hub (AASH) Indonesia menunjukkan sebanyak satu dari tiga bayi berusia di bawah usia dua tahun belum mendapatkan protein hewani yang cukup. Kondisi itu juga dialami anak usia balita dan usia sekolah.

Meski banyak faktor yang mempengaruhi, asupan protein hewani pada anak sangat penting. Untuk itu penting bagaimana anak-anak bisa mengakses dan mengonsumsi makanan dari produk hewani.


Kolaborasi

Selain program pemerintah, upaya yang bisa dilakukan untuk menekan kasus malnutrisi pada anak adalah kolaborasi dengan banyak pihak, salah satunya melalui program JAPFA for Kids (JFK) yang menyasar pada anak usia sekolah di sejumlah daerah di Tanah Air. Prevalensi malnutrisi pada anak usia sekolah dasar pada tahun 2023 menunjukkan angka yang mengkhawatirkan, yang mana 18 persen anak-anak di Indonesia mengalami stunting, dan 12 persen mengalami wasting.

Dengan kata lain, satu dari lima anak usia sekolah anak mengalami gangguan pertumbuhan akibat kekurangan gizi, yang dapat berdampak pada kemampuan belajar, kesehatan jangka panjang, dan produktivitas hingga pada masa depan.

Minimnya program intervensi gizi untuk anak usia sekolah juga menjadi pertimbangan khusus dalam menentukan target sasaran program. Saat ini, JFK bertujuan untuk menurunkan angka malnutrisi pada siswa dan mendorong terjadinya pembiasaan perilaku hidup sehat di sekolah, ujar Direktur Corporate Affairs JAPFA Rachmat Indrajaya.

Salah satu lokasi program JFK adalah Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat. Melalui program itu, Rachmat mengatakan pihaknya ingin memberikan manfaat kepada masyarakat di sekitar unit usaha. Secara langsung kehadiran program memberikan dampak terhadap penurunan malnutrisi siswa sebanyak 78 persen selama 6 bulan program berlangsung.

Agar program itu terus berkesinambungan, pada fase pertama atau tiga bulan pertama, difasilitasi satu fasilitator untuk setiap satu wilayah dan memberikan akses protein hewani untuk peningkatan nutrisi siswa. Harapannya agar sekolah mulai terbiasa dan mahir menjalankan program serta memperkuat sistem di setiap sekolah.

Berikutnya, pada fase kedua atau tiga bulan berikutnya, diberikan akses protein hewani secara gratis, akan tetapi sekolah diminta untuk melaksanakan program secara mandiri. Pihaknya tetap melaksanakan monitoring jarak jauh melalui sistem yang dapat dilengkapi oleh guru. Selanjutnya, yakni pemberian penghargaan sebagai salah satu alternatif cara untuk melihat kemandirian program berjalan tanpa adanya pihak JAPFA. Para orang tua dilibatkan sebagai tokoh kunci dalam penanggulangan malnutrisi dan pembiasaan hidup sehat.

Melalui kolaborasi multipihak kita secara bersama-sama dapat mengatasi permasalahan nutrisi yang dialami generasi penerus bangsa. Kebiasaan makanan yang memperhatikan aspek gizi juga perlu menjadi pembiasaan dan dimulai dari rumah. Bagaimanapun, status gizi anak sangat menentukan daya saing bangsa pada masa depan, sehingga upaya pemerintah untuk mengantarkan bangsa ini pada Indonesia Emas 2045 dapat terwujud dengan mulus.