Jakarta (ANTARA) - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan penyesuaian tarif cukai hasil tembakau (CHT) belum akan diterapkan pada tahun 2025.

“Sampai dengan penutupan pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 yang minggu lalu ditetapkan DPR, posisi pemerintah untuk kebijakan CHT pada 2025 belum akan dilaksanakan,” kata Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu Askolani saat konferensi pers APBN KiTa Edisi September 2024 di Jakarta, Senin.

Menurutnya, pemerintah masih akan melihat alternatif kebijakan lainnya dengan melakukan penyesuaian harga di level industri.

Sejumlah evaluasi juga akan dilakukan, termasuk perbedaan rokok golongan I, II dan III yang relatif tinggi dan menimbulkan adanya "downtrading".

“Basis arah CHT 2025 akan ditinjau kembali oleh pemerintah untuk bisa dipastikan kebijakan yang akan ditetapkan,” jelasnya.

Adapun realisasi penerimaan cukai tercatat sebesar Rp138,4 triliun per 31 Agustus 2024, tumbuh 5,0 persen secara tahunan (year-on-year/yoy).

Baca juga: Kemenkeu pastikan kebijakan cukai MBDK tak akan ganggu industri mamin

Baca juga: Apindo desak konsultasi publik soal aturan cukai minuman berpemanis


Pertumbuhan penerimaan cukai didorong oleh kenaikan produksi golongan II dan III yang mendorong kenaikan CHT sebesar 4,7 persen yoy menjadi Rp132,8 triliun.

Sementara penerimaan cukai minuman yang mengandung etil alkohol (MMEA) tercatat sebesar Rp5,4 triliun atau tumbuh 11,9 persen (yoy) didorong kenaikan tarif dan produksi MMEA dalam negeri.

Sedangkan cukai Etil Alkohol (EA) tercatat sebesar Rp93,6 miliar, atau tumbuh 21,8 persen sejalan dengan kenaikan produksi.

Dengan kinerja itu, penerimaan cukai turut mendongkrak realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai yang secara kumulatif tercatat sebesar Rp183,2 triliun, atau tumbuh sebesar 6,8 persen yoy.

Penerimaan Bea Masuk tercatat sebesar Rp33,9 triliun atau tumbuh 3,1 persen yoy akibat kenaikan nilai impor dan penguatan nilai tukar dolar AS terhadap rupiah.

Di sisi lain, penerimaan Bea Keluar terealisasi sebesar Rp10,9 triliun atau tumbuh 59,3 persen yoy, yang dipengaruhi oleh pertumbuhan Bea Keluar tembaga sebesar 567,8 persen yoy dengan share sebesar 77,1 persen.

Sementara Bea Keluar produk sawit turun 57,3 persen yoy akibat penurunan rata-rata harga crude palm oil (CPO) 2024 dan penurunan volume ekspor produk sawit.

Baca juga: Anggota DPR soroti kebijakan kemasan polos tanpa merek produk tembakau

Baca juga: GAPPRI sebut kenaikan tarif CHT berpotensi tingkatkan rokok ilegal