Accra (ANTARA) - "Ruang bawah tanah itu penuh dengan kotoran, dan penyakit menyebar dengan cepat," kata Mensah.

"Banyak yang meninggal di sini, jasad mereka dibuang ke laut bersama mereka yang tubuhnya belum hancur." lanjut dia.
​​​​
​​​​Di atas ruang bawah tanah itu, sebuah gereja kecil menyuguhkan pemandangan yang sangat kontras. "Mereka pasti mendengar tangisan para budak saat mereka menyanyikan lagu puji-pujian," ujar Mensah, seraya mengatakan bahwa baik para budak maupun orang-orang yang menangkap mereka tinggal dan berdoa di balik tembok yang sama.

Dalam karyanya yang berjudul "The American Slave-Trade: An Account of Its Origin, Growth and Suppression", penulis Amerika Serikat (AS), John Randolph Spears, menjelaskan secara terperinci kesengsaraan di atas kapal-kapal budak, di mana para budak laki-laki dibelenggu secara berpasangan dan dipaksa berbaring telentang atau miring dalam kondisi yang menyesakkan.

Kondisi kehidupan yang buruk dan durasi pelayaran yang panjang menyebabkan banyak kematian, dengan tingkat mortalitas rata-rata 15 persen. Ketika sumber daya menipis, para pedagang budak akan membuang yang paling lemah ke laut untuk meringankan beban kapal, kemudian menuntut kompensasi asuransi untuk "kargo yang hilang".

Missouri Sherman-Peter, pengamat tetap Komunitas Karibia (Caribbean Community/CARICOM) untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, menyoroti bahwa 12-20 juta warga Afrika dijadikan budak selama empat abad.

Menderita hingga meregang nyawa

Sekitar 450 km di sebelah timur Kastil Cape Coast, sebuah monumen suram lainnya berdiri di Pantai Ouidah, Benin. Monumen "Door of No Return" menjadi simbol untuk mengenang orang-orang Afrika yang dibawa secara paksa dari "Pantai Budak" ke Amerika.
Pemandangan Place Chacha di Ouidah, Benin, pada 27 Mei 2024. ANTARA/Xinhua/Li Yahui


"Sebuah meriam dapat ditukar dengan 15 budak laki-laki atau 21 budak perempuan," kata Espero de Souza (20), pemandu asal Benin yang merupakan keturunan dari Francisco Felix de Souza, seorang pedagang budak yang dikenal kejam. Budak-budak dilelang di Chacha Square, sebuah pusat perdagangan brutal yang didominasi oleh leluhur de Souza.

Bangsa Portugis adalah bangsa Eropa pertama yang mendarat di Brasil pada awal abad ke-16, yang tergiur oleh prospek kekayaan. Mereka membangun perkebunan tebu, tetapi penduduk asli, yang menderita akibat kerja paksa dan penyakit, ternyata tidak cukup untuk mereka. Para pemilik perkebunan tersebut kemudian mencari budak-budak Afrika, yang dianggap lebih tahan terhadap penyakit dan lebih mudah dikendalikan.

Hingga tahun 1630, sekitar 170.000 budak Afrika telah dibawa ke Brasil, menjadikan tebu sebagai tanaman yang secara intrinsik dikaitkan dengan perbudakan. Seperti yang diamati oleh sejarawan Wolfgang Leonhard, hingga 1638, 100 persen pekerja perkebunan gula adalah orang Afrika yang diperbudak.

Dalam bukunya yang berjudul "Captives as Commodities: The Transatlantic Slave Trade", akademisi AS Lisa Lindsay menggambarkan kenyataan pahit dari kehidupan di perkebunan. Saat menghitung biaya tenaga kerja, para pemilik perkebunan merasa lebih menguntungkan untuk mempekerjakan budak hingga mereka meninggal sebelum mencari pengganti mereka daripada menyediakan kondisi yang lebih baik.

Hingga abad ke-19, Dermaga Valongo, sebuah dermaga tua yang terletak di area pelabuhan Rio de Janeiro, menjadi pintu masuk utama bagi para budak Afrika di Brasil, yang menerima jutaan orang selama dua dekade. Area di sekitar pelabuhan itu, yang dikenal sebagai Pequena Africa atau Little Africa, menjadi sebuah pusat budaya Afrika-Brasil dan tempat kelahiran tari Samba yang energik.

Samba, yang kini menjadi simbol budaya Brasil, diyakini berasal dari bahasa Kimbundu di Afrika Barat, di mana "Semba" diketahui memiliki makna "tarian yang penuh semangat". Menurut sebuah teori, para pedagang budak memaksa para budak Afrika untuk menari di atas dek kapal selama pelayaran agar mereka tetap lincah, sehingga lebih mudah dijual saat mereka tiba.
Warga mengunjungi Door of No Return di Ouidah, Benin pada 27 Mei 2024. ANTARA/Xinhua/Li Yahui


Awal yang mengerikan dari produksi kapitalis

Pada 1814, seorang pengunjung Eropa mendokumentasikan kesannya tentang sebuah kota yang dipenuhi pabrik-pabrik yang menjulang tinggi, masing-masing dengan cerobong asap raksasa yang menyemburkan asap hitam ke langit. Kota itu adalah Manchester, Inggris.

Pada awal abad ke-18, Manchester merupakan sebuah kota kecil dengan jumlah penduduk yang tidak mencapai 10.000 jiwa. Pada pertengahan abad ke-19, kota tersebut menjadi sebuah pusat industri tekstil penting di Inggris, yang memiliki ratusan pabrik kapas dengan produk yang diekspor ke seluruh dunia.

Perdana menteri pertama Trinidad dan Tobago, sejarawan Eric Williams, merangkum dampak mendalam dari perdagangan budak terhadap industrialisasi di Barat.

"Ketergantungan tinggi terhadap perdagangan segitiga inilah yang melahirkan Manchester," ujarnya, menyebut Kerajaan Inggris sebagai "suprastruktur megah dari kekuatan angkatan laut dan perdagangan Amerika di atas fondasi Afrika."

Liverpool, yang dahulu merupakan sebuah desa nelayan kecil, berkembang menjadi pelabuhan perdagangan budak sebelum menjadi kota industri. Pada Oktober 1699, kapal budak Inggris pertama yang tercatat meninggalkan Liverpool menuju Karibia, membawa sekitar 220 tawanan Afrika. Selama abad ke-18, kapal-kapal budak Liverpool memperdagangkan sekitar 1,5 juta orang Afrika.

Kota-kota seperti London, Bristol, Nantes, Bordeaux, Amsterdam, dan Zeeland juga mencapai kemakmuran dari perdagangan budak yang brutal. Keuntungan dari perusahaan yang tidak manusiawi tersebut mendorong pertumbuhan industri manufaktur dan transportasi di seluruh Eropa.

Dalam karya besarnya yang berjudul "Capital: A Critique of Political Economy", Karl Marx mengidentifikasi perbudakan dan eksploitasi masyarakat pribumi Amerika, penjarahan di India, dan transformasi Afrika menjadi lahan perburuan komersial untuk nyawa manusia sebagai momen-momen penting dalam tahap awal produksi kapitalis. Peristiwa-peristiwa ini sangat krusial bagi akumulasi modal primitif.

Para pedagang budak, yang sering kali memulai dengan modal kecil, menghasilkan keuntungan yang luar biasa, terkadang hingga sepuluh kali lipat. Seorang kapten mencatat keuntungan bersih sebesar lebih dari 40.000 dolar AS (1 dolar AS = Rp15.287) dalam satu kali pelayaran pada 1827, meskipun modal awalnya hanya kurang dari 4.000 dolar.

Perdagangan budak juga mendorong pertumbuhan sektor keuangan dan asuransi di Eropa. Bank dan perusahaan asuransi dengan penuh semangat meluncurkan bisnis yang berkaitan dengan perdagangan itu, sementara para pedagang Barat yang mengumpulkan kekayaan dari perbudakan menjadi bankir, menginvestasikan keuntungan "berdarah" tersebut di perusahaan-perusahaan baru.

Penelitian dari proyek Legacies of British Slave Ownership dari University College London mengungkap bahwa sebagian besar kekayaan Inggris saat ini berkaitan dengan perbudakan. Institusi-institusi seperti Barclays Bank dan Lloyds Bank membangun kekayaannya dari perdagangan budak, menggarisbawahi kebangkitan London sebagai sebuah pusat keuangan global.

Di AS, para pemilik perkebunan mendapatkan keuntungan besar dari kerja paksa para budak Afrika, terutama dalam produksi kapas. Hingga pertengahan abad ke-19, kapas dari negara-negara bagian pemilik budak menyumbang lebih dari separuh ekspor AS, seperti yang disebutkan oleh sejarawan Sven Beckert dalam bukunya yang berjudul "Empire of Cotton".

Perdagangan budak trans-Atlantik, yang berlangsung selama empat abad, menghasilkan kekayaan yang sangat besar bagi negara-negara Barat dan memainkan peran penting dalam akumulasi modal, yang mencerminkan realitas brutal dari proses globalisasi yang didominasi oleh negara-negara tersebut.