Menlu Selandia Baru: Israel bertindak terlalu jauh dalam perang Gaza
20 September 2024 23:53 WIB
Tentara Israel terus meledakkan rumah dan gedung-gedung perumahan di sekitar Koridor Netzarim dan Koridor Philadelphi di Jalur Gaza yang dilanda perang pada Rabu (18/9/2024), menurut sumber lokal. / ANTARA/Anadolu/py
Ankara (ANTARA) - Menteri Luar Negeri Selandia Baru Winston Peters Jumat mengatakan Israel bertindak terlalu jauh dalam perang yang sedang berlangsung di Jalur Gaza.
Seiring meningkatnya kekhawatiran atas perang yang berlangsung hampir setahun, Peters mengatakan Tel Aviv telah menciptakan kesengsaraan bagi orang-orang tidak bersalah.
Ketika berbicara kepada Radio New Zealand, Jumat, ia juga menegaskan dukungan negaranya terhadap resolusi Majelis Umum PBB yang menyerukan Israel untuk mengakhiri pendudukan ilegal di wilayah Palestina.
"Kita harus melakukan yang terbaik yang kita bisa untuk mencoba dan memastikan bahwa kesengsaraan ini berakhir," kata Peters.
Menanggapi pertanyaan tentang hak Israel untuk membela diri, ia mengatakan Israel memiliki hak tersebut, tetapi akan tiba saatnya argumen tersebut tak lagi bisa dipertahankan ketika begitu banyak orang tak berdosa telah menjadi korban.
"Kami secara konsisten mengatakan bahwa solusi dua negara adalah satu-satunya solusi yang langgeng dan adil bagi warga Israel dan Palestina," ujarnya. Sementara itu, keputusan Australia yang menyatakan abstain dalam pemungutan suara resolusi Majelis Umum PBB mengundang kritik keras dan kekecewaan dari Dewan Yahudi Australia—yang menyerukan tindakan internasional yang kuat untuk mencegah kejahatan perang Israel.
"(Sikap) abstain Australia tidak sejalan dengan komitmennya terhadap hukum internasional dan pembangunan perdamaian," kata dewan tersebut.
"Sementara pemerintah Australia mengindikasikan dukungan untuk banyak aspek resolusi tersebut, kegagalannya untuk memberikan suara dukungan merupakan kesempatan yang hilang untuk menunjukkan kepemimpinan yang lebih kuat dan berprinsip," ujar Dewan Yahudi Australia dalam sebuah pernyataan.
Pada Rabu (18/9), Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi penting yang menyerukan diakhirinya pendudukan Israel atas wilayah Palestina dalam waktu satu tahun.
Resolusi yang diajukan oleh Palestina dan didukung oleh 124 negara itu menuntut penarikan pasukan Israel dari wilayah Palestina yang diduduki, termasuk Yerusalem Timur, sebagaimana diuraikan dalam pendapat penasihat (advisory opinion) yang dikeluarkan oleh Mahkamah Internasional (ICJ) pada Juli lalu.
Mengabaikan resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata segera, Israel terus melakukan serangan brutal di Gaza sejak serangan kelompok Hamas Palestina pada 7 Oktober 2023.
Selama hampir setahun, serangan Israel telah menewaskan hampir 41.300 korban dan melukai lebih dari 95.500 orang, menurut otoritas kesehatan Gaza.
Serangan juga memaksa hampir seluruh penduduk Gaza mengungsi, di tengah blokade yang menyebabkan krisis pangan, air bersih, dan obat-obatan.
Israel pun menghadapi tuduhan genosida atas tindakannya di Gaza, di Mahkamah Internasional.
Sumber: Anadolu
Baca juga: Kemlu RI: Tak ada korban WNI dalam ledakan alat komunikasi di Lebanon
Baca juga: Konflik Israel-Hizbullah sengit, picu kekhawatiran perang regional
Seiring meningkatnya kekhawatiran atas perang yang berlangsung hampir setahun, Peters mengatakan Tel Aviv telah menciptakan kesengsaraan bagi orang-orang tidak bersalah.
Ketika berbicara kepada Radio New Zealand, Jumat, ia juga menegaskan dukungan negaranya terhadap resolusi Majelis Umum PBB yang menyerukan Israel untuk mengakhiri pendudukan ilegal di wilayah Palestina.
"Kita harus melakukan yang terbaik yang kita bisa untuk mencoba dan memastikan bahwa kesengsaraan ini berakhir," kata Peters.
Menanggapi pertanyaan tentang hak Israel untuk membela diri, ia mengatakan Israel memiliki hak tersebut, tetapi akan tiba saatnya argumen tersebut tak lagi bisa dipertahankan ketika begitu banyak orang tak berdosa telah menjadi korban.
"Kami secara konsisten mengatakan bahwa solusi dua negara adalah satu-satunya solusi yang langgeng dan adil bagi warga Israel dan Palestina," ujarnya. Sementara itu, keputusan Australia yang menyatakan abstain dalam pemungutan suara resolusi Majelis Umum PBB mengundang kritik keras dan kekecewaan dari Dewan Yahudi Australia—yang menyerukan tindakan internasional yang kuat untuk mencegah kejahatan perang Israel.
"(Sikap) abstain Australia tidak sejalan dengan komitmennya terhadap hukum internasional dan pembangunan perdamaian," kata dewan tersebut.
"Sementara pemerintah Australia mengindikasikan dukungan untuk banyak aspek resolusi tersebut, kegagalannya untuk memberikan suara dukungan merupakan kesempatan yang hilang untuk menunjukkan kepemimpinan yang lebih kuat dan berprinsip," ujar Dewan Yahudi Australia dalam sebuah pernyataan.
Pada Rabu (18/9), Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi penting yang menyerukan diakhirinya pendudukan Israel atas wilayah Palestina dalam waktu satu tahun.
Resolusi yang diajukan oleh Palestina dan didukung oleh 124 negara itu menuntut penarikan pasukan Israel dari wilayah Palestina yang diduduki, termasuk Yerusalem Timur, sebagaimana diuraikan dalam pendapat penasihat (advisory opinion) yang dikeluarkan oleh Mahkamah Internasional (ICJ) pada Juli lalu.
Mengabaikan resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata segera, Israel terus melakukan serangan brutal di Gaza sejak serangan kelompok Hamas Palestina pada 7 Oktober 2023.
Selama hampir setahun, serangan Israel telah menewaskan hampir 41.300 korban dan melukai lebih dari 95.500 orang, menurut otoritas kesehatan Gaza.
Serangan juga memaksa hampir seluruh penduduk Gaza mengungsi, di tengah blokade yang menyebabkan krisis pangan, air bersih, dan obat-obatan.
Israel pun menghadapi tuduhan genosida atas tindakannya di Gaza, di Mahkamah Internasional.
Sumber: Anadolu
Baca juga: Kemlu RI: Tak ada korban WNI dalam ledakan alat komunikasi di Lebanon
Baca juga: Konflik Israel-Hizbullah sengit, picu kekhawatiran perang regional
Penerjemah: Yashinta Difa
Editor: Aditya Eko Sigit Wicaksono
Copyright © ANTARA 2024
Tags: