Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun menyatakan, kecurigaan adanya intervensi perusahaan rokok global terkait ketentuan pengaturan dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik.


Menurut dia, melalui keterangannya di Jakarta, Kamis ada disharmoni antara Pasal 3 dan Pasal 7 dalam RPMK yang mana pasal 3 ayat (1) RPMK menyebutkan bahwa ruang lingkup Permenkes mencakup Standardisasi Kemasan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik.

Pasal 3 ayat (3) mengatur bahwa Rokok Elektronik meliputi: (i) sistem terbuka atau isi ulang cairan nikotin; (ii) sistem tertutup atau cartridge sekali pakai; dan (iii) padat.

Namun, pengaturan lebih lanjut mengenai standardisasi kemasan di Pasal 7 ayat (1) hanya mengatur untuk standardisasi kemasan rokok elektronik sistem terbuka atau isi ulang dan Pasal 7 ayat (2) mengatur kemasan sistem tertutup (cartridge).

"Tidak ada pengaturan lebih lanjut mengenai rokok elektronik padat. Kami curiga jangan-jangan ada intervensi perusahaan rokok global yang meminta Kemenkes tidak mengatur dan tidak mengendalikan rokok elektronik padat yang merupakan produk padat impor," ujarnya.

Sebelumnya, Kemenkes menerbitkan PP 28/2024 yang menuai penolakan dari berbagai stakeholders, termasuk ekosistem pertembakauan. Saat ini, Kemenkes tengah merampungkan RPMK.

Menurut Misbakhun, pelaku industri rokok elektronik mayoritas adalah UMKM dan bagian dari industri kreatif, oleh karena itu adanya aturan tersebut akan menyebabkan banyak usaha gulung tikar karena tak sanggup berkompetisi dengan pelaku usaha global (global player) yang padat modal.

Hilangnya pengaturan rokok elektrik jenis padat (solid), tambahnya, di lain sisi objek pengaturan RPMK tersebut hanya produk tembakau konvensional, produk tembakau iris, kantung nikotin, rokok elektronik sistem terbuka dan sistem tertutup, maka dalam konteks ini ada ketidakadilan dalam berusaha.

"Hal ini akan menyebabkan terciptanya iklim usaha yang tidak sehat bagi kalangan rokok elektronik, dikarenakan adanya diskriminasi pengaturan oleh pemerintah," ujarnya.

Dikatakannya, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia adalah amanat konstitusi, oleh karena itu pemerintah yang memproduksi produk hukum harus lebih konstitusional.

"Konstitusional dalam arti jangan sampai yang tidak diatur oleh Undang-Undang kemudian peraturan-peraturan di bawahnya itu mengatur sebuah aturan yang memang tidak ada di batang tubuh norma Undang-Undangnya," katanya.