Jakarta (ANTARA) - Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Hilmar Farid menyampaikan pentingnya pengelola kebudayaan di tiap daerah memahami kekayaan budaya lokal, utamanya di bidang keanekaragaman hayati dan budaya atau biocultural diversity.

“Kalau mau membenahi administrasi dan kebijakan kebudayaan ke depan, perlu memahami itu dulu, tahu persis apa yang sebetulnya menjadi kekayaan kita. Kalau tu kita tahu, administrasinya akan mengarah bagaimana melayani pemanfaatan kekayaan itu secara penuh, dan ini butuh kerja sama lintas bidang,” katanya dalam kuliah umum di Universitas Gadjah Mada, DI Yogyakarta, yang diikuti dalam jaringan di Jakarta, Kamis.

Hilmar menjelaskan penanda paling penting dalam transformasi kebudayaan yakni dengan dikeluarkannya Undang-Undang (UU) Nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

“Awalnya banyak penolakan, masak kebudayaan mau diatur? Kebudayaan kan sesuatu yang hidup di dalam masyarakat, kalau di undang-undangkan bukannya membatasi? Sedangkan pandangan yang lain, kalau kebudayaan enggak kita kelola dengan baik, maka kita akan rentan dengan kebudayaan yang lain, jadi debat ini enggak ada habisnya,” paparnya.

Untuk itu, dengan hadirnya UU tersebut, yang dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 87 tahun 2021, maka muncul gagasan tentang objek pemajuan kebudayaan yang menjadi dasar seluruh pemangku kepentingan dalam memajukan kebudayaan di masing-masing daerah, dan tidak sekadar berkutat pada definisi kebudayaan.

Baca juga: Ahli nilai budaya di IKN harus dibangun selaras dengan infrastruktur

“Kita harus berpikir dengan pendekatan baru, mulai berpikir apa yang akan ditangani dan bagaimana menanganinya, lalu mulai memperhatikan unit atau satuan yang mau ditangani, dari sinilah muncul objek pemajuan kebudayaan,” ucapnya.

Ia menjelaskan kerja sama di bidang kebudayaan tidak boleh terbatas dikerjakan oleh orang-orang yang bergerak di bidang budaya saja, tetapi dari pelaku di bidang-bidang lain atau multidisiplin.

“Enggak mungkin dikerjakan oleh antropolog, sejarawan saja. Penting bagi teman-teman berpikir lintas bidang, bukan sekadar multidisiplin, melainkan lintas trans-disiplin, jadi melampaui bidangnya, bukan sekadar bekerja sama dengan bidang yang lain, tetapi mampu keluar dari cangkang disiplin ilmu kita untuk bisa berkontribusi pada suatu yang lebih besar,” tuturnya.

Menurutnya, dengan kerja sama multidisiplin, maka Indonesia dapat menangani kompleksitas biocultural diversity.

“Kalau kita dekati hanya ekonomi, orang hanya akan berbicara tentang nilai, ada 1.000 hektare dimanfaatkan sebagai kebun, tetapi kalau sekarang bekerja sama dengan yang mengerti farmasi, mikrobiologi, ekologi, maka akan mendapatkan gambar yang sama sekali berbeda mengenai aset keanekaragaman budaya yang sama,” demikian Hilmar Farid.

Baca juga: Residensi budaya 2024 ajang kenalkan tradisi lokal ke tingkat global
Baca juga: Pemkot Banjarbaru Kalsel lestarikan budaya lokal Indonesia