Jakarta (ANTARA) - Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) HIlmar Farid menyatakan pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) Museum dan Cagar Budaya atau Indonesian Heritage Agency (IHA) dapat memperbaiki tata kelola wisata museum dan cagar budaya di seluruh Indonesia.

“Sebelumnya banyak keluhan dari masyarakat kalau tempatnya kurang memadai, toiletnya tidak representatif (museum dan cagar budaya), tidak pernah ada konsolidasi maunya ke mana. Untuk itu, kita perbaiki dengan pembentukan BLU Museum dan Cagar Budaya,” katanya dalam kuliah umum di Universitas Gajah Mada, DI Yogyakarta, yang diikuti dalam jaringan di Jakarta, Kamis.

Menurutnya, sebelum pembentukan IHA ada banyak wisata museum yang belum berfungsi secara maksimal karena permasalahan birokrasi.

“Sebelumnya, ada cukup banyak tempat yang fungsinya seperti museum, punya koleksi, menyediakan tempat pameran, tetapi karena aturan yang ada, tidak bisa disebut sebagai museum. Ini permasalahan di dalam sistem birokrasi kita, maka yang kita lakukan sekarang adalah mengonsolidasi seluruh aset itu di bawah satu atap dan dikelola di dalam satu manajemen,” ujar dia.

Selain itu, menurutnya, sebelum ada IHA sistem tiket masuk ke museum dan cagar budaya juga tidak memiliki standar.

“Soal ticketing, ada cagar budaya yang menetapkan pembelian tiket, kerja sama dengan pemerintah daerah, dan itu negosiasi, pembagian harga tiket dan seterusnya sangat bervariasi dan tidak ada standar. Kita ingin semua ini menjadi jauh lebih efisien, ditempatkan di satu manajemen,” ucapnya.

Hilmar menyebutkan beberapa manfaat yang dapat dirasakan dari pembentukan BLU Museum dan Cagar Budaya, pertama yakni fleksibilitas pengelolaan keuangan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) oleh BLU tersebut.

“Birokrasi negara kita pada umumnya tidak menerima pemasukan karena kita betul-betul cuma fokus pada pengeluaran. Dengan ini, ada PNBP yang dikelola oleh BLU. Hasil yang diperoleh dari PNBP bisa dikelola dengan BLU yang bersangkutan, menjadi insentif bagi pengelola untuk mencari pendapatan sehingga layanan bisa kita tingkatkan,” katanya.

Selain itu, yang kedua yakni adanya profesionalisme untuk merekrut tenaga-tenaga profesional seperti kurator yang ketersediaannya belum tentu ada di lembaga atau kementerian.

“Misal kita ingin merekrut orang yang berpendidikan sebagai kurator, belum tentu tersedia di dalam talent pool kementerian kita, harus datang dari luar, kalau datang dari luar kita tidak bisa bayar hanya dengan honor sebagai tenaga honorer, enggak akan ada yang mau. Kurator kalau di luar negeri itu sekelas guru besar. Untuk bisa mengakses tenaga-tenaga yang kompeten dan profesional, BLU punya keleluasaan yang tidak dimiliki unit pelaksana teknis lainnya,” paparnya.

Keuntungan lain yang bisa didapatkan, lanjut dia, yakni peningkatan layanan publik dengan fokus pada penghasilan serta adanya peluang pengembangan dan ekspansi layanan dengan inovasi.

Meski begitu, Hilmar juga menyebutkan adanya risiko dari pembentukan BLU Museum dan Cagar Budaya tersebut, di antaranya komersialisasi layanan publik yang mengutamakan pendapatan, dan adanya resistensi serta konflik pejabat struktural atau fungsional.

“Untuk itu, kepemimpinan menjadi kunci, punya enggak keseimbangan untuk menata hal tersebut, sehingga ia harus punya visi yang jelas. Ketika transformasi dilakukan, ada resistensi, orang kalau sudah hidup di dalam zona nyaman, dia akan susah keluar membayangkan berfungsi lain, jadi kemampuan menavigasi perlu diubah,” tuturnya.

Baca juga: Pascakebakaran, Museum Nasional dibuka kembali pada 15 Oktober 2024

Baca juga: Kemendikbud gandeng komunitas kenalkan aksara kuno pada masyarakat