Jakarta (ANTARA) - Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Firman Soebagyo menilai usulan soal kemasan rokok polos tanpa merek berpotensi diskriminatif karena berdampak terhadap pedagang ritel dan petani tembakau.

Adapun, usulan tersebut termuat dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK).

Firman dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Rabu menyebut aspek diskriminatif yang disorot ialah adanya peraturan yang dinilai mengabaikan hak-hak hidup masyarakat luas. Kebijakan itu berpotensi mendiskriminasi berbagai kelompok masyarakat, termasuk pedagang ritel dan petani tembakau.

Menurut Firman, peraturan tersebut jelas akan berdampak pada kelompok masyarakat kecil seperti pedagang asongan, dan industri hasil tembakau yang telah berkontribusi besar pada pendapatan negara melalui cukai. Dampak tersebut terasa signifikan bagi tenaga kerja dan petani tembakau, yang selama ini menggantungkan hidup pada industri hasil tembakau.

"Hal tersebut menunjukkan adanya ketidakadilan dalam proses pembuatan peraturan, yang seharusnya melibatkan semua stakeholder, termasuk menteri-menteri terkait, tanpa adanya unsur diskriminatif," ujarnya.

Menurut dia, Mahkamah Konstitusi (MK) berperan penting dalam menjaga agar kebijakan pemerintah tidak merugikan masyarakat. MK diharapkan dapat memeriksa dan menilai apakah terdapat unsur subjektivitas dalam aturan-aturan baru tersebut.

Jika terdapat ketidakadilan, sebut dia, masyarakat memiliki hak untuk mengajukan gugatan dan meminta peninjauan ulang terhadap regulasi yang dianggap tidak sesuai dengan kaidah perundang-undangan.

Sementara itu, di tingkat legislatif, DPR RI terus memantau dan mempertimbangkan berbagai keluhan dari pemangku kepentingan terkait. Langkah-langkah yang mungkin diambil termasuk pengajuan judicial review jika ditemukan adanya ketidakadilan dalam peraturan.

"Ini termasuk kemungkinan untuk meninjau kembali atau bahkan membatalkan kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan umum," kata Firman.

Di samping itu, Firman juga menyoroti RPMK karena bertentangan dengan RUU Komoditas Strategis Nasional (RUU KSN). Ia menyebutkan bahwa RPMK, sebagai turunan dari undang-undang, tidak boleh mengintervensi atau menganulir ketentuan yang sudah diatur dalam undang-undang utama.

Ia mengungkapkan DPR RI akan mengambil sejumlah langkah untuk memastikan RPMK sesuai dengan ketentuan undang-undang. Ke depan, pihaknya akan memeriksa setiap pasal dalam RPMK untuk memastikan kesesuaiannya dengan RUU KSN dan undang-undang lainnya.

"Jika terdapat kontradiksi yang signifikan, DPR RI akan mendorong pihak-pihak yang merasa dirugikan untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung," ujarnya.

Sementara, Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wachjudi menyebut proses penyusunan RPMK tidak melibatkan partisipasi yang berarti dari industri. Ia mengklaim undangan untuk public hearing hanya mencakup beberapa asosiasi dan tidak melibatkan kementerian terkait seperti Kementerian Perindustrian (Kemenperin).

"Proses yang terburu-buru ini juga dinilai tidak memberikan ruang yang cukup bagi masukan dari pelaku usaha," kata Benny.

Yang dikhawatirkan para pelaku industri tembakau, lanjut Benny, implementasi kebijakan itu bisa menjadi pintu masuk bagi peningkatan rokok ilegal. Kasus terbaru menunjukkan bahwa rokok ilegal dapat dengan mudah dijual dan didistribusikan meskipun ada penangkapan dan denda.

"Hal ini memunculkan kekhawatiran bahwa regulasi yang ada malah mempermudah peredaran rokok ilegal dan merugikan industri yang mematuhi hukum," ujarnya.

Kekhawatiran serupa pun disampaikan Ketua Umum Asosiasi Penguasa Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey. Ia mengkritik penegakan hukum terkait peredaran rokok ilegal di Indonesia. Menurutnya, kasus terbaru menunjukkan tidak efektifnya penegakan hukum, yang berdampak negatif pada industri tembakau yang sah.

Ia mencontohkan pada 27 Agustus 2024, aparat penegak hukum di Lampung menyita 72 ribu batang rokok ilegal dan menangkap tiga pedagang besar yang terlibat. Namun, keesokan harinya, ketiga pelaku dibebaskan setelah membayar denda sebesar Rp150 juta.

Roy menilai kebijakan tersebut menciptakan ketidakadilan, di mana pelaku usaha yang mematuhi hukum harus menghadapi regulasi yang ketat. Sementara, pelanggar hukum dapat dengan mudah meloloskan diri dengan membayar denda.

"Jika pelanggaran hukum seperti ini bisa dibayar dengan denda dan terus berlanjut, maka tidak ada gunanya bagi kami yang menjual rokok legal untuk terus mematuhi aturan. Jika yang ilegal lebih banyak dan tidak membayar cukai, bagaimana kami bertahan dengan peraturan yang semakin ketat?" kata dia.

Baca juga: Industri tembakau alternatif pertanyakan aturan kemasan polos
Baca juga: Mana yang lebih sehat rokok elektrik atau konvensional
Baca juga: Kandungan berbahaya di balik nikmatnya rokok
Baca juga: Hukum merokok dalam Islam