Jakarta (ANTARA) - Masyarakat Gayo merupakan penduduk asli di daerah Aceh yang menyingkir ke pedalaman atau pegunungan. Sebagai salah satu etnis yang tinggal di dataran tinggi Aceh, masyarakat Gayo memiliki kekayaan ragam budaya dan kesenian yang unik serta legenda atau cerita rakyat yang melekat.

Salah satu bentuk kesenian yang diangkat dari legenda dan dipercaya oleh masyarakat Gayo adalah tari guel yang dikaitkan dengan legenda Gajah Putih. Tarian ini muncul dari sebuah kisah yang terjadi di masyarakat khususnya di Kabupaten Aceh Tengah.

Kata “guel” berarti membunyikan. Kata ini muncul menjadi sebuah gagasan dari suara yang dihasilkan oleh pukulan benda-benda. Tari guel diiringi oleh bunyi-bunyian yang terdiri atas guel (rebana), canang, memong, dan gong. Di zaman dahulu tari guel disebut tari “menatap” atau tari pedah berbentuk gerak gaya di tempat yang tertib, berangsur maju mundur berulang kali yang sangat terbatas dan dengan langkah yang beringsut.

Tari guel awalnya lebih difungsikan sebagai bagian dari upacara adat tertentu di kalangan masyarakat Gayo. Namun saat ini tari guel juga ditampilkan dalam upacara perkawinan, festival-festival, dan penyambutan tamu. Seperti saat kirab api PON XXI tiba di Aceh Tengah beberapa waktu lalu, tarian ini turut menyambut kedatangan tim pembawa api PON.

Sebelum ditampilkan dalam acara perkawinan, tari guel haruslah ”sukut” yaitu si penari harus meminta terlebih dahulu restu/izin reje atau pemimpin masyarakat yang merupakan syarat dowa. Tanpa izin tersebut tari ini tidak boleh ditampilkan.

Pada penampilan tari guel, akan hadir ahli-ahli atau petua-petua adat untuk menyaksikan benar tidaknya tari tersebut, irama gendang, tata tertib, dan sebagainya. Jika ada gerakan tari yang salah, atau ada sesuatu yang sumbang, maka si penari akan didenda.

Sepenggal gerak atau atraksi dari tari ini juga diperbolehkan untuk ditarikan oleh pengantin sebagai wujud rasa gembira diiringi nyanyian oleh anak-anak gadis bersama tetabuhan canang selengkapnya.

Penggalan tari yang dilakukan di anyung (anjungan rumah) diberi nama tari anyung. Apabila penggalan gerak tari ini dilakukan di halaman rumah atau di lapangan, maka dinamai tari tepok belang atau tari turun ku belang.


Pesan moral

Jika ditelusuri lebih mendalam, ada banyak pesan moral yang disampaikan secara tersirat dalam gerakan tari guel.

Pesan mengenai persaudaraan dan persatuan tersirat dalam gerakan penari laki-laki yang bergerak maju mundur sambil mengepakkan atau mengibaskan kain ulen-ulen, kain tradisional Gayo yang dikenakan saat acara adat.

Gerakan tersebut merupakan simbol bahwa sesama orang Gayo adalah saudara yang merupakan satu turunan atau satu klan sehingga perlu saling menjaga dan saling melindungi. Kepakan atau pengibasan kain ulen-ulen merupakan simbol pengusiran unsur-unsur negatif dalam masyarakat dan keluarga. Apabila sesama saudara terjadi juga pertentangan, maka sebaiknya dilakukan musyawarah agar tidak terjadi pertumpahan darah dalam satu turunan atau klan.

Adapun penari wanita yang mengiringi penari guel laki-laki merupakan simbol pengiringan Gajah Putih yang dibawa ke Koeta Radja Kerajaan Aceh Darussalam memberi pesan moral tentang kerja sama, gotong royong untuk menyelesaikan suatu permasalahan.


Legenda dan nama daerah

Tari guel memang tidak bisa dilepaskan dari legenda Gajah Putih. Legenda tersebut menceritakan tentang perjalanan Sengeda, anak dari keluarga bangsawan di Kerajaan Linge, membawa gajah putih menuju ibu kota Kerajaan Aceh, Koeta Radja, saat mengikuti sayembara yang digelar oleh Sultan Aceh. Gajah putih tersebut dibawa ke Koeta Radja untuk dipersembahkan kepada sultan Aceh dan permaisurinya.

Gajah putih itu diperoleh setelah ia mendengar bisikan bahwa untuk mendapatkan gajah putih tersebut ia harus menari-nari sendiri sambil mengelilingi makam saudaranya yang bernama Bener Meriah. Gajah putih adalah penjelmaan dari Bener Meriah, yang meninggal dalam suatu pertempuran perebutan kekuasaan. Inilah asal muasalnya kalau tari guel awal sebenarnya merupakan tari tunggal.

Selanjutnya dikisahkan ketika Sengeda beserta pengawal atau rombongannya hendak membawa gajah putih yang merupakan penjelmaan Bener Meriah untuk diserahkan kepada Sultan Aceh di Koeta Radja.

Suatu saat, rombongan Sengeda sampai di sebuah kedai atau warung untuk beristirahat dan makan. Setelah selesai istirahat dan makan, sebelum melanjutkan perjalanan Sengeda bertanya kepada pengawalnya “Pengawal, ngee ke bireun” yang artinya “Pengawal, sudahkah dibayar?”. Akhirnya daerah tersebut dinamai Bireun atau Kota Bireun yang saat ini terletak di Kabupaten Bireun.

Sengeda dan pengawalnya melanjutkan perjalanannya membawa gajah putih tersebut. Pada suatu daerah gajah putih tersebut sudah tidak mau lagi berjalan dan duduk di tanah. Para pengawal Sengeda berusaha menarik untuk membangunkan gajah putih agar berdiri kembali, tetapi usaha mereka tidak berhasil. Kemudian Sengeda memerintahkan kepada pengawalnya untuk “tonjok sigelie” yang artinya “tonjok atau pukul bagian-bagian geli dari tubuh gajah” agar gajah berdiri kembali sehingga daerah tersebut dinamai dengan Sigli atau Kota Sigli yang terletak di Kabupaten Aceh Jaya.

Perjalanan selanjutnya, Sengeda dan pengawalnya yang membawa gajah putih melewati suatu hutan belantara yang lebat sehingga mereka berhari-hari dalam hutan tersebut seakan-akan tersesat ketika menuju Koeta Radja. Salah seorang pengawal Sengeda bertanya kepada Sengeda, “Tuan, selo sawah kite, selo sawah kiteni ke kuete redje” yang artinya “Tuan, kapan sampai kita, kapan sampai kita ini ke Koeta Radja?” Akhirnya hutan tersebut diberi nama Seulawah.

Bener Meriah kemudian disematkan sebagai nama kabupaten yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Tengah berdasarkan Undang-Undang No. 41 tahun 2003 tanggal 18 Desember 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Bener Meriah di Provinsi Aceh. Kabupaten ini diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri tanggal 7 Januari 2004.



*) Rida Safuan Selian adalah akademisi, peneliti, pemerhati budaya dan seni dari Universitas Syiah Kuala Banda Aceh