Banda Aceh (ANTARA) - Di atas lapangan dengan nuansa warna hijau dan biru, nomor beregu putra dan putri menjadi pembuka dalam pertandingan cabang olahraga tenis dalam perhelatan Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI Aceh-Sumatera Utara 2024.

Kontingen dari berbagai provinsi yang berpartisipasi berlomba-lomba menurunkan pemain terbaik mereka, mulai dari rentang usia muda 17 tahun hingga 34 tahun. Dalam satu tim untuk nomor beregu itulah para petenis tiap kontingen bersatu untuk menyumbangkan skor.

Salah satunya adalah tim tenis tuan rumah Aceh yang terdiri atas barisan petenis putri Cylova Zuleyka Hukmasabiyya, Dina Novrianti, Nadya Aulia, dan Ananda Putri Kurniani, serta petenis putra Muhammad Gunawan Trimuswantara, Hafiz Muhammad, Muhammad Zaid Aulia, dan Irfandi Hendrawan.

Beberapa punggawa yang membela Aceh itu masih berusia muda dan baru menjalani PON pertama mereka. Zaid misalnya, dalam usianya yang baru berusia 17 tahun itu, ia sudah dipercaya oleh pelatih Aceh untuk menyumbangkan skor set. Selain Zaid, ada pula Gunawan Trimuswantara yang baru berusia 21 tahun. Dibandingkan Zaid, Gunawan telah mencatatkan namanya di beberapa pertandingan internasional.

Hal ini berbeda dengan tim Jawa Timur yang menurunkan petenis-petenis terbaik Indonesia yang sudah banyak malang melintang di turnamen nasional maupun internasional.

Pada petenis putri, Jatim diperkuat oleh Beatrice Gumulya, Janice Tjen, Jessy Priskilla Rompies, dan Aldila Sutjadi. Sedangkan pada petenis putra, Jatim diperkuat oleh Susanto bersaudara, David Agung dan Anthony, serta Muhammad Rifqi Fitriadi, dan Christopher Benjamin Rungkat.

Skuad tenis Jatim tak ubahnya "dream team" yang memiliki segudang pengalaman. Mereka seolah sudah hafal segala macam gerakan perlawanan yang akan diberikan musuhnya.

Tentu itu berbeda dengan pemain muda yang baru mengikuti beberapa turnamen. Musuh yang mereka hadapi masih dalam skala yang terbatas. Terlebih, beberapa petenis ada yang baru mengikuti ajang pertandingan olahraga nasional empat tahunan ini. Mereka baru mencicipi lapangan baru, pengalaman baru, dan tentunya, lawan baru.

Adanya fenomena disparitas kemampuan antara satu kontingen dengan kontingen lainnya ini pun memunculkan satu pertanyaan: Bisakah para petenis muda yang bertanding pada PON kali ini memiliki kemampuan yang sama mumpuninya dengan petenis senior dalam PON berikutnya?

Baca juga: Tenis - Jatim tanpa hambatan kawinkan medali emas beregu putra-putri
Baca juga: Christo dapat dukungan penuh dari Jatim untuk tanding di luar negeri

Petenis Jawa Timur Janice Tjen melakukan tos kepada petenis Aceh Cylova Zuleyka usai menang pada babak perempat final tenis beregu putri PON XXI Aceh-Sumut 2024 di Lapangan Tenis Harapan Bangsa, Banda Aceh, Aceh, Kamis (12/9/2024). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww.

Asa petenis muda

Beberapa dari mereka, para petenis muda yang sedang bertumbuh, pertama kali menapakkan mimpi dan harapannya pada PON tahun ini. Sungguh suatu kebanggaan bagi mereka bisa membela tim provinsi mereka dalam perhelatan olahraga yang paling prestisius di Indonesia.

Di luasnya lapangan tenis di Stadion Harapan Bangsa, mereka beradu kemampuan demi bisa membawa nama provinsi yang dibela dalam sesi podium. Namun, soal bertanding adalah perkara lain. Adanya disparitas skill pun menjadi suatu permasalahan.

Salah satu tokoh terkenal dalam tenis tampak mengikuti jalannya pertandingan babak penyisihan nomor beregu putra dan putri. Sosok itu adalah Suharyadi, mantan pemain tenis yang pernah bermain di Olimpiade Seoul 1988 bersama pasangannya, Donald Wailan Walalangi. Ia juga merupakan suami dari Yayuk Basuki, petenis wanita Indonesia yang telah mencatatkan segudang prestasi.

Suharyadi yang saat ini menjadi pelatih pribadi untuk petenis kontingen Jawa Timur, Muhammad Rifqi Fitriadi, ikut mengamati jalannya pertandingan antara petenis muda dan senior yang berlangsung.

"Di sini, kelihatan siapa daerah-daerah mana yang serius membina, kelihatan juga daerah-daerah mana yang punya pemain bagus," kata dia sambil memandang lurus ke arah lapangan.

Menurutnya, sudah menjadi tugas masing-masing daerah untuk memberikan pembinaan jangka panjang, jangka menengah, jangka pendek, dan memiliki target. Pembinaan juga bukan hanya sekadar ketika mendekati tanggal-tanggal PON, tetapi juga harus terus dilakukan secara konsisten.

Apabila dibicarakan secara teori, pembinaan bukanlah hal yang sulit. Namun, ada satu hal kerap yang menjadi penghalang utama dalam setiap permasalahan di dunia tenis, yaitu dana.

Ia menjelaskan, tenis merupakan olahraga individual. Dimulainya karier bertenis seorang anak kebanyakan berawal dari pengaruh orang tuanya. Lantaran merupakan olahraga individual, dana yang dikeluarkan pun bergantung pada kemampuan masing-masing petenis, sehingga beberapa ada yang memilih berlatih ala kadarnya karena keterbatasan biaya.

Padahal, alangkah lebih baiknya apabila petenis muda yang berusia 15-19 tahun berada di bawah pelatihan pengurus daerah (pengda) atau klub tenis agar pengajaran bisa dibarengi dengan upaya untuk regenerasi petenis selanjutnya.

Dengan berada di bawah payung besar seperti pengprov, maka proses pelatihan dan regenerasi pemain bisa terjamin. Namun, lagi-lagi dihadapkan dengan masalah dana. Atlet harus banyak mengikuti turnamen agar dapat mengumpulkan poin dan dapat mempelajari menghadapi lawan baru.

Hanya saja, biaya yang dibutuhkan untuk bertanding di nasional maupun internasional untuk satu atlet tidaklah sedikit. Terlebih, dalam satu tahun, pemain harus mengikuti 10-12 turnamen.

Untuk biaya turnamen internasional, dibutuhkan dan 1.000 hingga 1.200 dolar AS per minggunya. Apabila dikalikan 12 turnamen, maka dana yang diperlukan sekitar Rp180 juta. Itu untuk satu atlet saja, belum untuk lima atlet.

Untuk dana yang sebesar itu, pengda dan klub seringkali tidak mampu membiayainya. Cara lain yang bisa ditempuh untuk bisa mendapatkan biaya, salah satunya dengan mencari sponsor pihak swasta.

Bermitra dengan pihak swasta juga bukan perkara mudah. Agar pihak swasta mau memberikan sponsornya, harus ada hubungan timbal balik antara petenis dan sponsor. Tenis harus terlebih dahulu menjadi komoditas olahraga yang banyak digemari dan ditonton oleh masyarakat Indonesia, sehingga pihak swasta bisa berdatangan dan bersedia memberikan sponsor.

Akan tetapi, jika melihat situasi di Indonesia, tenis masih menjadi olahraga yang belum umum di masyarakat. Selain itu, belum ada faktor menarik yang bisa membuat orang-orang bersedia untuk mengikuti tenis secara berkelanjutan.

Satu masalah lain selain dana adalah komitmen pelatihan pemain. Ery, panggilan akrab Suharyadi, menilai bahwa hal yang juga tak kalah penting harus diperhatikan adalah pelatihan petenis secara berjenjang.

Sambil memandangi para pemain muda yang sedang berlaga di lapangan tenis di Stadion Harapan Bangsa, ia berbicara bahwa ada banyak petenis junior yang memiliki masa depan cerah. Sayangnya, setelah lepas dari status petenis junior, pembinaan tidak dilakukan secara serius lagi, sehingga ada gap di antara keduanya.

Mengambil contoh dari PON, Ery berpendapat bahwa seharusnya bibit-bibit muda yang berlaga di PON, selepas ajang itu berakhir, bisa dilanjutkan kembali dengan pelatihan di daerah masing-masing.

Ilmu yang mereka dapatkan dari berhadapan dengan para pemain senior yang lebih berpengalaman, juga bisa diterapkan dalam ilmu yang diajarkan dalam pelatihan agar ajang olahraga nasional ini cuma bukan sekadar sebagai tempat bertanding, tetapi juga sebagai ajang menimba ilmu.

Apabila para petenis Indonesia mencatatkan prestasi, bukan tidak mungkin dana akan mengucur deras dari pihak-pihak swasta yang ingin mendukung prestasi para petenis. Untuk mewujudkan ini, tentu saja diperlukan sinergi para stakeholder.

"Problem itu bisa diatasi bersama-sama, mulai dari pemerintahnya, Pengurus Besar Tenis Persatuan Tenis Lapangan Indonesia (PB PELTI), dan daerahnya. Dengan berkolaborasi, mungkin masalah dana bisa diatasi. Tapi, itu kan butuh pemikiran, komitmen, dan disiplin yang bagus," ucapnya.

Baca juga: Tenis - Anjali Kirana ungkap sempat tergelincir saat bertanding
Baca juga: Aldila ingatkan rekan-rekannya perjuangan mereka di PON masih panjang

Petenis Jawa Timur M Rifqi Fitriadi berjabat tangan dengan petenis Aceh M Gunawan Trimuswantara usai bertanding pada babak perempat final tenis beregu putra PON XXI Aceh-Sumut 2024 di Lapangan Tenis Harapan Bangsa, Banda Aceh, Aceh, Kamis (12/9/2024). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww.

Komitmen PELTI

Sebagai organisasi yang menaungi segala hal yang berkaitan dengan tenis lapangan, PP PELTI telah memiliki perencanaan sebagai upaya mereka untuk mematangkan ikhtiar dalam menempa generasi emas tenis di masa depan.

Apabila menarik ke belakang, satu permasalahan utama yang sejak tadi dibicarakan adalah dana. Ketua Bidang Pembinaan Prestasi (Kabid Binpres) Deddy Prasetyo mengakui bahwa memang ada permasalahan terkait pembiayaan atlet.

Namun, kata dia, Ketua PP PELTI Nurdin Halid telah berkomitmen bahwa organisasi itu akan merekrut pemain-pemain terbaik untuk dicarikan sponsor guna dapat pergi ke turnamen.

Lalu, agar bisa menarik dukungan dari sponsor, perlu adanya pemain berkualitas yang bisa membawa harum nama Indonesia. Oleh karena itu, satu hal yang menjadi fokus utama Deddy dan timnya saat ini adalah meningkatkan kualitas pemain.

Dengan berapi-api ia mengungkapkan bahwa selama beberapa tahun terakhir, kualitas petenis Indonesia menurun. Alasannya? Salah satunya karena menurunnya kualitas pelatih lantaran tidak mau terus belajar.

Ada banyak pelatih yang hanya memiliki latar belakang bisa bermain tenis, lantas menjadi pelatih. Setelah itu, mereka tidak mau belajar lagi mengenai sport science, utamanya tennis science. Padahal, ilmu tersebut sangat dibutuhkan selain skill bermain tenis. Diperlukan strategi yang baik agar bisa menumbuhkan pemain yang berkualitas.

"Pelatihnya ngajarnya seolah doing business as usual. Seharusnya kan mereka (pemain) ditempa. Jadi, kalau mau maju, petenis harus mendapatkan kualitas latihan yang bagus yang memiliki tujuan khusus jangka panjang," ujarnya.

Pelatih harus bisa meningkatkan pelatihan kepada para atlet dengan kurikulum yang diperiodisasi secara berkala. Apabila atlet yang dilatih sudah beradaptasi dengan suatu level, maka perlu ditingkatkan kembali tingkat kesulitannya. Dengan demikian, akan ada keberlanjutan dan bakat bertenis tidak terhenti pada usia 15-19 tahun.

Apabila kekurangan dari sisi kepelatihan bisa diperbaiki, maka atlet yang dilatih bisa berkualitas dan dunia tenis di Indonesia akan mengarah ke arah yang lebih baik. Dibutuhkan komitmen yang tegas dan berkelanjutan untuk mematangkan program yang telah dicanangkan. Ikhtiar ini juga pun menjadi komitmen PELTI ke depan.

Diharapkan masa depan tenis Indonesia dapat terus berkembang hingga bisa kembali mengirim wakil dalam olimpiade, atau bahkan nama petenis Indonesia bisa mengharumkan nama negara di Grand Slam, ajang pertandingan tenis paling bergengsi.

Baca juga: Tenis - Aldila Sutjiadi harap permainannya jadi motivasi para junior
Baca juga: Petenis muda Aceh merasa bangga bisa melawan Aldila Sutjiadi