Jakarta (ANTARA) - Temuan awal dari studi Action Against Stunting Hub (AASH) di Lombok Timur menunjukkan perlu adanya kebijakan terhadap akses makanan sehat untuk penanggulangan stunting.
“Hasil temuan awal kami, akses untuk makanan padat gizi (sayuran hijau daun, ayam, dan ikan) termasuk dalam golongan kesulitan sedang (30 hingga 70 persen) untuk semua domain eksternal yakni ketersediaan, harga dan kebersihan pangan,” ujar Peneliti SEAMEO RECFON sekaligus Country Lead studi AASH Indonesia, Dr. Umi Fahmida, dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.
Dia menjelaskan, untuk makanan jajanan yang tidak sehat atau kurang bergizi justru tidak ada kesulitan. Oleh karenanya perlu upaya peningkatan akses terhadap makanan sehat melalui kebijakan yang tepat sasaran dan mengurangi ketersediaan jajanan yang tidak sehat.

Selain itu, temuan awal pada lingkungan pangan menunjukkan responden mengalami kesulitan akut atau besar dari 70 persen dalam komponen informasi dan promosi untuk semua jenis makanan.
Untuk komponen lingkungan pangan digunakan metode Alkire-Foster untuk menghitung skor matriks multidimensi terkait pengalaman lingkungan pangan (MFEEM).

“Untuk distribusi skor lingkungan pangan komoditas ayam dan sayuran hijau daun, perlu diberikan intervensi spesifik untuk wilayah dengan akses pangan yang terbatas contohnya desa dekat gunung atau desa yang jauh dari pasar,” jelas Umi.
Selain itu rumah tangga yang berdekatan cenderung memiliki pengalaman lingkungan pangan yang hampir sama, yang mana rumah tangga dengan skor M-FEEM yang rendah biasanya berdekatan dengan rumah lain dengan skor yang sama.

Untuk komponen pangan bergizi yang penting untuk pencegahan stunting, perlu adanya keragaman sumber protein untuk pemenuhan gizi yang baik khususnya zat gizi yang bermasalah yakni besi, kalsium, seng, dan folat. Kombinasi protein hewani seperti hati, ikan kecil dengan tulang, telur, dan tahu/tempe dapat memberikan asupan zat gizi yang lebih lengkap. Rantai pangan yang perlu dikuatkan yakni ikan kecil dengan tulang dan hati ayam.

Berikutnya rantai nilai pangan, dari sampel ayam ditemukan 27,8 persen sampel terkontaminasi bakteri E. coli. Sementara pada sampel ikan, ditemukan 81,3 persen terkontaminasi bakteri E. coli dan 2,1 persen sampel terkontaminasi bakteri Salmonella.

Keterbatasan rantai dingin menjadi masalah yang ditemukan sepanjang rantai nilai terutama pada ikan dan ayam.

“Peningkatan kapasitas kepada pelaku rantai nilai sangat dibutuhkan, antara lain mengenai keamanan pangan, dan pembuatan produk olahan,” terang Umi.

Kemudian perlu adanya peningkatan monitoring dan kontrol terhadap pelaku rantai nilai, terutama dalam aspek keamanan pangan.

Studi AASH dilaksanakan oleh Regional Centre for Food and Nutrition (RECFON) –Pusat Kajian Gizi Regional Universitas Indonesia, yang didanai oleh United Kingdom Research and Innovation-Global Challenges Research Fund (UKRI-GCRF). Studi itu melakukan pendekatan secara menyeluruh (whole child approach) itu dilaksanakan selama periode 2019-2024 di tiga negara (India, Indonesia, Senegal) dan Lombok Timur terpilih menjadi lokasi untuk studi ini di Indonesia. Wilayah studi AASH di Lombok Timur meliputi kecamatan Aikmel, Lenek, Sakra, dan Sikur.

Penelitian tersebut melibatkan 702 ibu hamil sejak Februari 2021. Studi kohor AASH diawali dengan rekrutmen ibu hamil saat trimester 2 pada 2021, yang dilanjutkan hingga kelahiran, sampai dengan anak berusia 24 bulan. Studi AASH melihat pertumbuhan dan perkembangan anak tidak hanya dari aspek gizi dan sistem pangan, namun juga secara menyeluruh meliputi kesehatan saluran cerna, sanitasi, epigenetik, hingga tingkat stres pada ibu hamil.

Sebelumnya dilakukan diseminasi temuan awal AASH di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, pada 10 September lalu.

Baca juga: Studi AASH tunjukkan kesehatan mental ibu pengaruhi perkembangan anak

Baca juga: Duta AASH: Peran ayah dalam keluarga sangat penting cegah stunting