Jakarta (ANTARA) - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak berkoordinasi dengan Unit Pelaksana Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (UPT PPPA) Provinsi DKI Jakarta dalam kasus dugaan kekerasan dan eksploitasi terhadap mantan karyawan berinisial CS di Jakarta.

"Tim layanan SAPA 129 telah melakukan koordinasi dengan UPT PPPA Provinsi DKI Jakarta dalam penanganan kasus kekerasan dan eksploitasi terhadap salah satu mantan karyawan yang dilakukan oleh CL dan KL, pimpinan perusahaan game art dan animasi BS saat masih bekerja sebagai karyawan," kata Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA Ratna Susianawati saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa.

Ratna Susianawati menyatakan keprihatinan dengan maraknya kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan, yang sering kali membuat mereka merasa tidak aman di lingkungan sekitar mereka.

"Kami akan terus memantau dan memastikan korban mendapatkan keadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada," kata dia.

Ratna Susianawati menambahkan kekerasan terhadap perempuan, baik yang terjadi di dalam rumah tangga maupun di tempat kerja, mencerminkan adanya ketidaksetaraan pada perempuan sehingga perempuan tidak dapat terpenuhi hak-haknya, baik di rumah tangga maupun di lingkungan sekitar mereka.

Ratna Susianawati menyatakan pelaku harus mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.

Menurut dia, pelaku telah melanggar Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tentang tindak pidana penganiayaan dan dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan pasal 351 ayat 1, dan dapat juga dikenakan pasal 353 KUHP apabila penganiayaan yang dilakukan telah direncanakan terlebih dahulu, dan Pasal 354 KUHP untuk penganiayaan berat.

Selain dikenakan pasal mengenai penganiayaan, pelaku juga dapat dikenakan pasal dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2023, Pasal 86 ayat 1.

"Korban berhak mengajukan pemutusan hubungan kerja sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Pasal 154A ayat 1 huruf g, yang mengatur bahwa pemutusan hubungan kerja dapat terjadi jika pekerja/buruh mengajukan permohonan karena pengusaha melakukan penganiayaan, penghinaan secara kasar, atau ancaman," katanya.

Jika pemutusan hubungan kerja diterima, korban berhak atas kompensasi seperti cuti tahunan yang belum diambil dan ongkos pulang pisah, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021, Pasal 40 dan Pasal 45.

Baca juga: Komnas: Perempuan pekerja rumahan di tiga provinsi alami kekerasan verbal

Baca juga: Komnas: Perempuan pekerja rumahan rentan alami eksploitasi, kekerasan