Telaah
Memahami tata kelola uang negara
Oleh M. S. Manggalanny*)
17 September 2024 07:44 WIB
Direktur Surat Utang Negara Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu Deni Ridwan memberikan materi pada kegiatan sosialisasi Pembiayaan APBN dan SBN ritel di Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Senin (19/2). (ANTARA/Tumpal Andani Aritonang)
Jakarta (ANTARA) - Apakah ketika negara berhutang semakin besar, kelak rakyat hingga bergenerasi selanjutnya yang akan menanggung bebannya berat tersebut? Pertanyaan itu kerap menjadi diskusi yang menarik di kalangan masyarakat.
Sejatinya, perlu dipahami bahwa pengelolaan utang negara adalah salah satu aspek penting dalam kebijakan fiskal yang bertujuan untuk mendukung pembangunan dan menjaga stabilitas ekonomi.
Dana pinjaman dari dalam dan luar negeri digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan belanja sosial yang diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Hutang Negara dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan pelaksanaannya harus dengan persetujuan dan diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Namun, masih banyak masyarakat yang belum memahami bagaimana utang negara dikelola sehingga sering timbul kekhawatiran dan kesalahpahaman seperti misalnya bahwa utang negara menjadi beban rakyat yang diturunkan sampai bergenerasi sampai bayi yang baru lahir turut menanggungnya.
Hal yang semacam itu dipercaya oleh masyarakat walaupun sebenarnya adalah argumentasi yang tidak berdasar dan di seluruh dunia tidak ada praktik seperti itu.
Tulisan ini bermaksud untuk memberi pemahaman awam tentang bagaimana utang Negara dikelola.
Pada prinsipnya pengelolaan utang negara itu berpegang pada tiga hal yakni sumber utang, pengelolaan risiko, dan Sustainable Debt Management.
Utang negara berasal dari dua sumber utama yaitu utang domestik. Melalui penerbitan Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), pemerintah meminjam dana dari investor domestik.
Ini dilakukan dalam rangka pembiayaan APBN dan menjaga keseimbangan fiskal. Utang domestik memiliki keuntungan karena tidak terpengaruh oleh fluktuasi nilai tukar dan bisa lebih mudah dikelola dalam hal pembiayaan ulang (refinancing) namun bunganya lebih tinggi agar investor tertarik. Utang dalam negeri meliputi sekitar 70 persen proporsi.
Kemudian sumber utang luar negeri. Bisa berupa pinjaman dari lembaga keuangan internasional (Bank Dunia, IMF), pinjaman bilateral dari Pemerintah negara lain (G to G), dan penerbitan surat utang dalam mata uang asing untuk menarik investor asing.
Dana ini dapat digunakan untuk mendanai proyek pembangunan yang produktif dan memiliki syarat tertentu, seperti tingkat bunga dan jangka waktu pengembalian.
Utang luar negeri lebih rentan terhadap risiko nilai tukar dan suku bunga global, sehingga pemerintah berupaya untuk menurunkan ketergantungan, dibatasi hingga maksimal 30 persen proporsi.
Terkait pengelolaan risiko, manajemen utang dilakukan hati-hati agar risiko ekonomi makro bisa diminimalisir.
Ada risiko-risiko yang mungkin muncul di antaranya rasio nilai tukar dimana sebagian sebagian utang luar negeri dalam denominasi mata uang asing, sehingga fluktuasi nilai tukar bisa mempengaruhi besarnya kewajiban utang.
Kemudian risiko tingkat bunga yakni kenaikan suku bunga global bisa meningkatkan beban bunga utang, terutama untuk utang yang memiliki suku bunga mengambang.
Dan ada risiko pembiayaan ulang (refinancing).
Pemerintah harus memastikan utang yang jatuh tempo bisa dibayar atau diganti dengan utang baru tanpa menambah tekanan pada APBN.
Sementara terkait Sustainable Debt Management, dapat dijelaskan bahwa salah satu prinsip pengelolaan utang harus berkelanjutan, menjaga pembiayaan dari utang terkendali sehingga Undang-Undang membatasi besarnya tidak boleh melebihi 60 persen PDB dan disiplin mengelola kebijakan fiskal serta mengendalikan defisit anggaran tidak melebihi 3 persen per tahun.
Bila proporsional, utang bisa memberi dampak positif bagi perekonomian dengan memprioritaskan proyek produktif yang mendukung pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Pemanfaatan Utang
Sumber utama pembayaran utang berasal dari penerimaan negara. Pembayaran utang dilakukan secara terstruktur melalui alokasi anggaran tahunan yang disiapkan dalam APBN.
Antara lain Penerimaan Pajak, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), Penerbitan Surat Utang Baru (refinancing), Deviden BUMN, dan Dana Eksternal seperti Hibah.
Seringkali Pemerintah membayar utang yang digunakan program belanja strategis seperti untuk impor peralatan kesehatan, obat-obatan darurat seperti pada masa pandemi COVID-19, pengadaan berbagai komoditas untuk stok ketahanan pangan, subsidi energi dan belanja sosial dengan cara negosiasi dan restrukturisasi.
Bentuknya bisa mulai keringanan berupa penurunan tingkat bunga, perpanjangan masa pinjaman, hingga penghapusan utang melalui perubahan status pemberian menjadi hibah atau bahkan dengan imbal balik perdagangan seperti barter dengan hasil produksi sumber daya alam.
Kemudian terkait pemanfaatan utang pemerintah, hal ini diatur sebagai alokasi utang pemerintah di antaranya untuk pos infrastruktur. Umumnya pos ini mengambil porsi terbesar utang Pemerintah sebesar 30-40 persen.
Utang di pos ini dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur seperti jalan tol, pelabuhan, bandara, sistem kereta api, jembatan, bendungan, irigasi, serta sarana dan prasarana lainnya.
Infrastruktur merupakan katalis bagi pertumbuhan ekonomi karena meningkatkan konektivitas, mempercepat distribusi barang dan jasa, menciptakan lapangan kerja.
Alokasi Sektor Sosial yang besarannya sekitar 15-20 persen utang Pemerintah dialokasikan ke sektor pendidikan dan kesehatan seperti pembangunan sekolah, universitas, fasilitas kesehatan, rumah sakit, program kesejahteraan sosial lainnya baik berupa penambahan kuantitasnya ataupun peningkatan kualitasnya dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas SDM, mendukung produktivitas, dan daya saing ekonomi.
Pos Belanja Sosial dan Perlindungan Sosial meliputi 10-15 persen utang Pemerintah. Antara lain untuk membiayai program perlindungan sosial, seperti bantuan sosial (bansos), subsidi energi, dan subsidi pangan untuk mengurangi kesenjangan dan mendukung masyarakat yang kurang mampu.
Selanjutnya pos Pembiayaan Defisit APBN. Utang juga digunakan untuk menutup defisit anggaran. Defisit terjadi ketika pendapatan negara tidak mencukupi untuk membiayai belanja negara, sehingga pemerintah harus meminjam dana untuk menutupi kekurangan ini.
Defisit anggaran dapat terjadi karena berbagai sebab seperti penurunan neraca perdagangan dengan negara lain, melemahnya nilai tukar rupiah maupun akibat keterlambatan dalam penerimaan negara atau karena perubahan kondisi geopolitik global seperti peperangan di berbagai belahan dunia yang mengakibatkan ketidakpastian dan resesi.
Kemudian pos Pembiayaan Pemulihan Ekonomi. Berbagai kejadian yang tidak terduga seperti bencana, pandemi COVID-19, hingga peperangan memaksa Pemerintah mengubah prioritas APBN yang membutuhkan dana darurat dalam waktu singkat.
Utang menjadi solusi untuk membiayai program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Program ini mencakup bantuan kepada sektor usaha, insentif bagi UMKM, serta pembiayaan untuk ektor yang terdampak seperti pariwisata, manufaktur, dan jasa serta untuk menjaga daya beli masyarakat sehingga stabilitas ekonomi tetap terjaga.
Daya beli masyarakat sangat penting sehingga berbagai industri tetap aktif berproduksi dan menyerap tenaga kerja.
Tantangan Pemanfaatan
Meskipun utang dialokasikan untuk berbagai tujuan yang produktif, tetap ada beberapa tantangan dalam pemanfaatan utang pemerintah seperti efektivitas Proyek Infrastruktur yang tidak semua menghasilkan return on investment (ROI) yang cukup cepat.
Beberapa proyek besar bisa memakan waktu puluhan tahun sebelum memberikan kontribusi nyata terhadap pendapatan negara, sehingga ada risiko beban utang meningkat lebih cepat dibandingkan manfaat ekonominya.
Selain itu risiko pembiayaan meningkat bila terjadi ketergantungan utang untuk pembiayaan defisit anggaran.
Ditambah dengan ketidakpastian kondisi ekonomi global seperti kenaikan suku bunga global, perubahan kebijakan ekonomi internasional dan geopolitik dapat meningkatkan biaya utang luar negeri.
Oleh karena itu pengelolaan utang harus menerapkan berbagai strategi dengan disiplin berkelanjutan, seperti pengendalian fiskal, mempertahankan defisit anggaran, meningkatkan neraca perdagangan dan kehati-hatian dalam alokasi pemanfaatan serta pengawasan.
Monitoring dan evaluasi memastikan setiap alokasi dana memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
*) Penulis adalah Deputy of Operation CSIRT.ID
Sejatinya, perlu dipahami bahwa pengelolaan utang negara adalah salah satu aspek penting dalam kebijakan fiskal yang bertujuan untuk mendukung pembangunan dan menjaga stabilitas ekonomi.
Dana pinjaman dari dalam dan luar negeri digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan belanja sosial yang diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Hutang Negara dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan pelaksanaannya harus dengan persetujuan dan diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Namun, masih banyak masyarakat yang belum memahami bagaimana utang negara dikelola sehingga sering timbul kekhawatiran dan kesalahpahaman seperti misalnya bahwa utang negara menjadi beban rakyat yang diturunkan sampai bergenerasi sampai bayi yang baru lahir turut menanggungnya.
Hal yang semacam itu dipercaya oleh masyarakat walaupun sebenarnya adalah argumentasi yang tidak berdasar dan di seluruh dunia tidak ada praktik seperti itu.
Tulisan ini bermaksud untuk memberi pemahaman awam tentang bagaimana utang Negara dikelola.
Pada prinsipnya pengelolaan utang negara itu berpegang pada tiga hal yakni sumber utang, pengelolaan risiko, dan Sustainable Debt Management.
Utang negara berasal dari dua sumber utama yaitu utang domestik. Melalui penerbitan Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), pemerintah meminjam dana dari investor domestik.
Ini dilakukan dalam rangka pembiayaan APBN dan menjaga keseimbangan fiskal. Utang domestik memiliki keuntungan karena tidak terpengaruh oleh fluktuasi nilai tukar dan bisa lebih mudah dikelola dalam hal pembiayaan ulang (refinancing) namun bunganya lebih tinggi agar investor tertarik. Utang dalam negeri meliputi sekitar 70 persen proporsi.
Kemudian sumber utang luar negeri. Bisa berupa pinjaman dari lembaga keuangan internasional (Bank Dunia, IMF), pinjaman bilateral dari Pemerintah negara lain (G to G), dan penerbitan surat utang dalam mata uang asing untuk menarik investor asing.
Dana ini dapat digunakan untuk mendanai proyek pembangunan yang produktif dan memiliki syarat tertentu, seperti tingkat bunga dan jangka waktu pengembalian.
Utang luar negeri lebih rentan terhadap risiko nilai tukar dan suku bunga global, sehingga pemerintah berupaya untuk menurunkan ketergantungan, dibatasi hingga maksimal 30 persen proporsi.
Terkait pengelolaan risiko, manajemen utang dilakukan hati-hati agar risiko ekonomi makro bisa diminimalisir.
Ada risiko-risiko yang mungkin muncul di antaranya rasio nilai tukar dimana sebagian sebagian utang luar negeri dalam denominasi mata uang asing, sehingga fluktuasi nilai tukar bisa mempengaruhi besarnya kewajiban utang.
Kemudian risiko tingkat bunga yakni kenaikan suku bunga global bisa meningkatkan beban bunga utang, terutama untuk utang yang memiliki suku bunga mengambang.
Dan ada risiko pembiayaan ulang (refinancing).
Pemerintah harus memastikan utang yang jatuh tempo bisa dibayar atau diganti dengan utang baru tanpa menambah tekanan pada APBN.
Sementara terkait Sustainable Debt Management, dapat dijelaskan bahwa salah satu prinsip pengelolaan utang harus berkelanjutan, menjaga pembiayaan dari utang terkendali sehingga Undang-Undang membatasi besarnya tidak boleh melebihi 60 persen PDB dan disiplin mengelola kebijakan fiskal serta mengendalikan defisit anggaran tidak melebihi 3 persen per tahun.
Bila proporsional, utang bisa memberi dampak positif bagi perekonomian dengan memprioritaskan proyek produktif yang mendukung pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Pemanfaatan Utang
Sumber utama pembayaran utang berasal dari penerimaan negara. Pembayaran utang dilakukan secara terstruktur melalui alokasi anggaran tahunan yang disiapkan dalam APBN.
Antara lain Penerimaan Pajak, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), Penerbitan Surat Utang Baru (refinancing), Deviden BUMN, dan Dana Eksternal seperti Hibah.
Seringkali Pemerintah membayar utang yang digunakan program belanja strategis seperti untuk impor peralatan kesehatan, obat-obatan darurat seperti pada masa pandemi COVID-19, pengadaan berbagai komoditas untuk stok ketahanan pangan, subsidi energi dan belanja sosial dengan cara negosiasi dan restrukturisasi.
Bentuknya bisa mulai keringanan berupa penurunan tingkat bunga, perpanjangan masa pinjaman, hingga penghapusan utang melalui perubahan status pemberian menjadi hibah atau bahkan dengan imbal balik perdagangan seperti barter dengan hasil produksi sumber daya alam.
Kemudian terkait pemanfaatan utang pemerintah, hal ini diatur sebagai alokasi utang pemerintah di antaranya untuk pos infrastruktur. Umumnya pos ini mengambil porsi terbesar utang Pemerintah sebesar 30-40 persen.
Utang di pos ini dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur seperti jalan tol, pelabuhan, bandara, sistem kereta api, jembatan, bendungan, irigasi, serta sarana dan prasarana lainnya.
Infrastruktur merupakan katalis bagi pertumbuhan ekonomi karena meningkatkan konektivitas, mempercepat distribusi barang dan jasa, menciptakan lapangan kerja.
Alokasi Sektor Sosial yang besarannya sekitar 15-20 persen utang Pemerintah dialokasikan ke sektor pendidikan dan kesehatan seperti pembangunan sekolah, universitas, fasilitas kesehatan, rumah sakit, program kesejahteraan sosial lainnya baik berupa penambahan kuantitasnya ataupun peningkatan kualitasnya dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas SDM, mendukung produktivitas, dan daya saing ekonomi.
Pos Belanja Sosial dan Perlindungan Sosial meliputi 10-15 persen utang Pemerintah. Antara lain untuk membiayai program perlindungan sosial, seperti bantuan sosial (bansos), subsidi energi, dan subsidi pangan untuk mengurangi kesenjangan dan mendukung masyarakat yang kurang mampu.
Selanjutnya pos Pembiayaan Defisit APBN. Utang juga digunakan untuk menutup defisit anggaran. Defisit terjadi ketika pendapatan negara tidak mencukupi untuk membiayai belanja negara, sehingga pemerintah harus meminjam dana untuk menutupi kekurangan ini.
Defisit anggaran dapat terjadi karena berbagai sebab seperti penurunan neraca perdagangan dengan negara lain, melemahnya nilai tukar rupiah maupun akibat keterlambatan dalam penerimaan negara atau karena perubahan kondisi geopolitik global seperti peperangan di berbagai belahan dunia yang mengakibatkan ketidakpastian dan resesi.
Kemudian pos Pembiayaan Pemulihan Ekonomi. Berbagai kejadian yang tidak terduga seperti bencana, pandemi COVID-19, hingga peperangan memaksa Pemerintah mengubah prioritas APBN yang membutuhkan dana darurat dalam waktu singkat.
Utang menjadi solusi untuk membiayai program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Program ini mencakup bantuan kepada sektor usaha, insentif bagi UMKM, serta pembiayaan untuk ektor yang terdampak seperti pariwisata, manufaktur, dan jasa serta untuk menjaga daya beli masyarakat sehingga stabilitas ekonomi tetap terjaga.
Daya beli masyarakat sangat penting sehingga berbagai industri tetap aktif berproduksi dan menyerap tenaga kerja.
Tantangan Pemanfaatan
Meskipun utang dialokasikan untuk berbagai tujuan yang produktif, tetap ada beberapa tantangan dalam pemanfaatan utang pemerintah seperti efektivitas Proyek Infrastruktur yang tidak semua menghasilkan return on investment (ROI) yang cukup cepat.
Beberapa proyek besar bisa memakan waktu puluhan tahun sebelum memberikan kontribusi nyata terhadap pendapatan negara, sehingga ada risiko beban utang meningkat lebih cepat dibandingkan manfaat ekonominya.
Selain itu risiko pembiayaan meningkat bila terjadi ketergantungan utang untuk pembiayaan defisit anggaran.
Ditambah dengan ketidakpastian kondisi ekonomi global seperti kenaikan suku bunga global, perubahan kebijakan ekonomi internasional dan geopolitik dapat meningkatkan biaya utang luar negeri.
Oleh karena itu pengelolaan utang harus menerapkan berbagai strategi dengan disiplin berkelanjutan, seperti pengendalian fiskal, mempertahankan defisit anggaran, meningkatkan neraca perdagangan dan kehati-hatian dalam alokasi pemanfaatan serta pengawasan.
Monitoring dan evaluasi memastikan setiap alokasi dana memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
*) Penulis adalah Deputy of Operation CSIRT.ID
Copyright © ANTARA 2024
Tags: