Bangui, Republik Afrika Tengah (ANTARA News) - Tim dari International Criminal Court (ICC) , Kamis, tiba Republik Afrika Tengah yang bergolak untuk menjalankan misi pertama menyelidiki kejahatan di negeri itu sejak pertumpahan darah pecah pada 2012.

"Kejahatan berat dilakukan di Afrika Tengah sejak 2012," kata Kepala Kerja sama Internasional ICC, Amadi Bah, pada jumpa pers di ibu kota, Bangui, seperti dilaporkan AFP.

Satu koalisi pemberontak melancarkan serangan pada akhir 2012 dan kemudian memaksa Francois Bozize keluar dari kekuasaan pada Maret 2013.

Penjarahan terjadi setiap hari, pembunuhan, dan pemerkosaan secara keseluruhan memicu kekhawatiran kegagalan negara dan memicu pengerahan operasi militer Desember 2013 oleh bekas penguasa kolonial Prancis.

Ribuan orang tewas dan sekitar seperempat dari 4,6 juta penduduk, mengungsi sejak awal pertempuran di Republik Afrika Tengah.

ICC telah berkomitmen menyelidiki kekerasan di negeri ini lebih dari satu dekade lalu oleh mantan wakil presiden tetangga Republik Demokratik Kongo, Jean-Pierre Bemba.

"Sejak tahun 2002, investigasi-investigasi telah dilakukan dan mereka melanjutkan ke Den Haag sehubungan kejahatan 2003-2003," kata Ahmadi Bah, pemimpin tim ICC di Bangui, katanya.

"Sayangnya, sekali lagi sejak 2012 kejahatan serius dan kekejaman yang belum pernah terjadi sebelumnya telah terjadi di wilayah Afrika Tengah," katanya kepada wartawan.

ICC mengumumkan pada Februari bahwa pihaknya telah membuka penyelidikan awal dalam kekerasan terbaru.

"Kantor saya telah mengkaji banyak laporan yang merinci tindakan yang sangat brutal ... tuduhan kejahatan serius dan yang sedang dilakukan," kata kepala jaksa pengadilan, Fatou Bensouda.

Pengumuman itu terjadi dua hari setelah hukuman mati tanpa pengadilan yang mengerikan, yang memperlihatkan tentara pemerintah menusuk, menginjak-injak dan melempari tersangka mantan pemberontak setelah upacara militer yang dihadiri presiden sementara yang baru.

(H-AK)