BNPB: Pemetaan forensik gambarkan kapan datangnya gempa dan tsunami
14 September 2024 14:05 WIB
Direktur Pemetaan dan Evaluasi Risiko Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Udrekh, dalam siniar "Pemetaan dalam Forensik Kebencanaan" yang diikuti di Jakarta, Sabtu (14/9/2024) (ANTARA/M Riezko Bima Elko Prasetyo)
Jakarta (ANTARA) - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menjadikan pemetaan forensik kebencanaan hal yang penting dilakukan sebagai cara untuk mendapat gambaran kapan datangnya bencana di sebuah wilayah, termasuk gempa dan tsunami.
“Umumnya untuk gempa dan tsunami diketahui siklusnya akan terjadi dalam berapa ratus tahun atau bahkan ribuan tahun dari kejadian sebelumnya,” kata Direktur Pemetaan dan Evaluasi Risiko Bencana BNPB Udrekh dalam siniar yang diikuti di Jakarta, Sabtu.
Ia menjelaskan pemetaan dalam forensik kebencanaan berbeda dan lebih kompleks dibandingkan pemetaan bencana konvensional, karena tujuannya untuk mendapatkan gambaran lebih lengkap.
Pada pemetaan forensik gempa dan tsunami misalnya, yang melibatkan banyak ahli seperti ahli geologi, hidrologi, kimia, oceanologi, geodesi, spasial, sosiologi, DVI, hingga ilmu tanah.
Baca juga: Basarnas kembangkan teknologi pemetaan zona evakuasi bencana
Menurut dia, semakin banyak ahli yang terlibat maka banyak pula bukti-bukti relevan yang dapat diteliti dan hasilnya akan lebih baik informatif.
Karena harus bisa lihat bukti-bukti yang relevan itulah, kata dia, pemetaan forensik kebencanaan ini dilakukan pada saat kejadian dan waktu penelitiannya cukup lama.
“Ahli butuh memeriksa sampel bagian sedimen laut yang terbawa ke darat karena tsunami untuk diukur, lalu dihitung dengan teknologi kimia karbon misalnya. Itulah yang menyebabkan kita bisa merekonstruksi sebuah kejadian dengan baik. Tuhan itu menyingkapkan pengetahuan dia melalui sebuah kejadian,” kata ahli seismologi lulusan Universitas Tokyo, Jepang ini.
Baca juga: BNPB: Pemetaan risiko bencana DAS Asahan prioritas nasional
Dia menyebutkan pemetaan dalam forensik kebencanaan tersebut tidak hanya dilakukan untuk mendapat gambaran bencana gempa dan tsunami, tapi juga seperti gunung meletus, banjir bandang, tanah longsor, hingga untuk kebakaran hutan.
Indonesia melalui segenap kementerian dan lembaga terkait, lanjutnya, juga melakukan pemetaan forensik tersebut, seperti pada bencana gempa dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah, dan banjir lahar dingin Gunung Merapi, Sumatera Barat.
“Hasil rekonstruksi bencana ini jadikan sebagai dasar pertimbangan pemerintah, jangan sampai salah mengambil keputusan menghadapi potensi bencana yang akan datang,” ujarnya.
Baca juga: Akademisi: Pemetaan risiko bencana perlu jadi prioritas
Baca juga: Ahli UPN tekankan pentingnya pemetaan gedung tua di zona rawan gempa
“Umumnya untuk gempa dan tsunami diketahui siklusnya akan terjadi dalam berapa ratus tahun atau bahkan ribuan tahun dari kejadian sebelumnya,” kata Direktur Pemetaan dan Evaluasi Risiko Bencana BNPB Udrekh dalam siniar yang diikuti di Jakarta, Sabtu.
Ia menjelaskan pemetaan dalam forensik kebencanaan berbeda dan lebih kompleks dibandingkan pemetaan bencana konvensional, karena tujuannya untuk mendapatkan gambaran lebih lengkap.
Pada pemetaan forensik gempa dan tsunami misalnya, yang melibatkan banyak ahli seperti ahli geologi, hidrologi, kimia, oceanologi, geodesi, spasial, sosiologi, DVI, hingga ilmu tanah.
Baca juga: Basarnas kembangkan teknologi pemetaan zona evakuasi bencana
Menurut dia, semakin banyak ahli yang terlibat maka banyak pula bukti-bukti relevan yang dapat diteliti dan hasilnya akan lebih baik informatif.
Karena harus bisa lihat bukti-bukti yang relevan itulah, kata dia, pemetaan forensik kebencanaan ini dilakukan pada saat kejadian dan waktu penelitiannya cukup lama.
“Ahli butuh memeriksa sampel bagian sedimen laut yang terbawa ke darat karena tsunami untuk diukur, lalu dihitung dengan teknologi kimia karbon misalnya. Itulah yang menyebabkan kita bisa merekonstruksi sebuah kejadian dengan baik. Tuhan itu menyingkapkan pengetahuan dia melalui sebuah kejadian,” kata ahli seismologi lulusan Universitas Tokyo, Jepang ini.
Baca juga: BNPB: Pemetaan risiko bencana DAS Asahan prioritas nasional
Dia menyebutkan pemetaan dalam forensik kebencanaan tersebut tidak hanya dilakukan untuk mendapat gambaran bencana gempa dan tsunami, tapi juga seperti gunung meletus, banjir bandang, tanah longsor, hingga untuk kebakaran hutan.
Indonesia melalui segenap kementerian dan lembaga terkait, lanjutnya, juga melakukan pemetaan forensik tersebut, seperti pada bencana gempa dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah, dan banjir lahar dingin Gunung Merapi, Sumatera Barat.
“Hasil rekonstruksi bencana ini jadikan sebagai dasar pertimbangan pemerintah, jangan sampai salah mengambil keputusan menghadapi potensi bencana yang akan datang,” ujarnya.
Baca juga: Akademisi: Pemetaan risiko bencana perlu jadi prioritas
Baca juga: Ahli UPN tekankan pentingnya pemetaan gedung tua di zona rawan gempa
Pewarta: M. Riezko Bima Elko Prasetyo
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2024
Tags: