Pekanbaru (ANTARA News) - Dua terdakwa calon legislatif yakni Maimanah Umar dan anaknya Maryenik Yanda dituntut dengan hukuman enam bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun dalam kasus dugaan politik uang pada Pemilu Legislatif 2014.

"Terdakwa juga didenda Rp10 juta subsider enam bulan kurungan," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) Hasnah SH pada sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Negeri Pekanbaru, Riau, Kamis.

Maimanah Umar merupakan caleg DPD RI asal Riau, sedangkan putrinya Maryenik Yanda merupakan caleg DPRD untuk daerah pemilihan Kabupaten Kampar dari Partai Golkar. Keduanya juga mendapat cukup suara pada Pemilu Legislatif untuk bisa duduk sebagai anggota DPD dan DPRD.

Maimanah Umar hadir dalam persidangan mengenakan baju batik dan jilbab coklat berbalut selendang ungu, sedangkan Maryenik mengenakan baju lengan panjang warna putih. Keduanya terlihat tertunduk lesu di "kursi pesakitan" saat mendengar pembacaan tuntutan JPU.

JPU menyatakan, Maimanah Umar dan anaknya dipersalahkan telah melanggar Undang-Undang (UU) No.8/2012 tentang Pemilu Legislatif Pasal 301 ayat 1 jo. pasal 89 huruf d dan e jo. pasal 81 dan 86 karena melakukan politik uang (money politic).

"Perbuatan terdakwa juga bertentangan dengan Keputusan KPU dan Peraturan KPU Nomor 01 tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD junto pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHpidana," katanya.

JPU disebutkan kronologis "money politics" yang diduga dilakukan kedua terdakwa terjadi pada 28 Maret 2014 pukul 21.30 WIB di rumah milik saksi Darmayulis di Perumahan Taman Anggrek II Blok F No.8 Jalan Rambah Raya Kubang, Kecamatan Siak Hulu, Kampar. Terdakwa disebut sebagai orang yang menyuruh melakukan perbuatan yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebahai imbalan kepada peserta kampanye Pemilu secara langsung ataupun tidak langsung.

JPU menyebut saksi Yuneli alias Nunik telah memberikan bingkisan baju batik kemeja yang pada bagian dalam baju batik bertuliskan "Dr Hj Maimanah Umar MA Tokoh Perjuangan Riau berjuang tanpa henti Caleg DPD RI Dapil Riau nomor urut 11 dan Hj Maryenik Yanda SH caleg DPRD Riau dapil 2 Kampar nomor urut 3 dari Partai Golkar".

JPU menyatakan pemberian tersebut merupakan bentuk "money politic" untuk mempengaruhi masyarakat yang menjadi pemilih.

"Dengan sengaja melakukan atau turut melakukan atau menjanjikan materi ataupun imbalan kepada peserta kampanye pemilu untuk memilih dirinya sebagai calon anggota DPD RI dan DPRD Kampar," katanya.

Dalam persidangan sebelumnya, saksi dari Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Riau Edi Syarifuddin menyatakan laporan perkara ini diawali laporan yang disertai dengan berbagai barang bukti yang cukup adanya pelanggaran pidana Pemilu. Ia mengatakan dalam penanganan kasus tersebut sudah sesuai prosedur melalui instansi penegak hukum di Sentra Gakkumdu hingga akhirnya ke pengadilan.

"Dari pendalaman dan penelitian yang kami lakukan, ditemukan pelanggaran pemilu," tegas Edi.

Namun, dari saksi ahli yang dihadirkan justru bertolak belakang dengan pendapat saksi Ketua Bawaslu Riau Prof Edi Warman dan Mizarni Nasution, ahli hukum dari Universitas Sumatera Utara, menilai dakwaan JPU tidak memenuhi unsur politik uang. Kedua saksi ahli itu intinya berpendapat sama, bahwa baju batik dan kartu nama kedua caleg tidak masuk kategori "money politics".

"Baju tidak bisa disamakan dengan uang, karena tidak dapat dijual kembali," kata saksi Edi Warman.

Ia mengatakan terdapat perbedaan persepsi dan multitafsir dalam Undang-Undang tentang Pelanggaran Pemilu yang terjadi karena lemahnya sistem yang dibangun oleh Komisi Pemilihan Umum. "Terdapat berbagai kelemahan pada peraturan KPU maupun pemerintah terkait Undang-Undang Pelanggaran Pemilu," katanya.

Ketua Majelis Hakim JPL Tobing SH menyatakan persidangan akan dilanjutkan pada Jumat besok (9/5).
(F012/N002)