Dosis tinggi obat ADHD berkaitan dengan risiko psikosis
14 September 2024 07:06 WIB
Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) merupakan gangguan kesehatan mental yang umum didiagnosis pada anak-anak usia pra-sekolah. (Antaranews/Grafis)
Jakarta (ANTARA) - Peneliti kini menemukan bahwa penggunaan dosis tinggi obat ADHD (Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder), terutama stimulan seperti amfetamin, terkait dengan risiko lebih dari lima kali lipat mengalami psikosis atau mania.
Dikutip dari Medical Daily, Sabtu, ADHD adalah gangguan neurodevelopmental yang memengaruhi kemampuan untuk mempertahankan fokus, tetap tenang, dan mengatur dorongan.
Gejala ADHD sering mengganggu aktivitas sehari-hari, kinerja akademik, dan interaksi sosial. Kondisi ini umumnya didiagnosis pada anak-anak, tetapi karena tidak ada pencegahan atau obat, bisa berlanjut hingga dewasa dan manifestasinya berubah seiring bertambahnya usia.
Pengobatannya melibatkan kombinasi terapi, pelatihan orang tua dalam manajemen perilaku, serta penggunaan obat stimulan dan non-stimulan.
Baca juga: Anak dengan ADHD perlu terapi perilaku untuk cegah perundungan
Penggunaan stimulan untuk pengobatan ADHD telah meningkat dalam dekade terakhir, terutama selama pandemi COVID-19.
Studi sebelumnya telah menunjukkan hubungan antara penggunaan amfetamin dan peningkatan risiko psikosis.
Dalam studi terbaru, peneliti mengeksplorasi bagaimana berbagai dosis memengaruhi risiko ini.
Individu yang terlibat dalam studi adalah pasien yang dirawat di fasilitas kesehatan mental Mass General Brigham, McLean Hospital, untuk psikosis atau mania antara 2005 dan 2019.
Baca juga: Dokter sebut hiperaktif bisa diturunkan dari orangtua
Semua pasien berusia antara 16 dan 35 tahun, usia umum terjadinya psikosis dan mania. Dari kasus-kasus ini, terdapat 1.374 kasus psikosis episode pertama.
Berdasarkan data kesehatan, peneliti melakukan analisis komparatif penggunaan stimulan selama sebulan terakhir sambil mempertimbangkan faktor lain seperti penggunaan zat.
Pendekatan itu membantu mereka memisahkan efek stimulan terhadap kondisi pasien.
Temuan yang diterbitkan dalam American Journal of Psychiatry menunjukkan bahwa individu yang menggunakan amfetamin resep dalam sebulan terakhir lebih mungkin mengalami psikosis atau mania yang baru dibandingkan dengan mereka yang tidak menggunakannya.
Baca juga: Manfaat salmon, tingkatkan kesehatan jantung hingga cegah ADHD
Risiko tertinggi ditemukan pada individu yang mengonsumsi 30 mg atau lebih dextroamphetamine, yang setara dengan 40 mg adderall.
Sementara risiko psikosis pada peserta yang terpapar amfetamin resep ditemukan sebesar 63 persen, penggunaan amfetamin dosis tinggi terkait dengan risiko 81 persen.
Hal itu berarti bahwa di antara mereka yang menggunakan amfetamin, 81 persen kasus psikosis atau mania dapat dihindari jika tidak menggunakan dosis tinggi.
Baca juga: Video game sebagai "obat digital" anak berkebutuhan khusus
"Obat stimulan tidak memiliki batas dosis atas pada labelnya, dan hasil kami menunjukkan bahwa dosis adalah faktor dalam risiko psikosis dan harus menjadi pertimbangan utama saat meresepkan stimulan. Ini adalah efek samping yang jarang tetapi serius yang harus dipantau oleh pasien dan dokter mereka setiap kali obat ini diresepkan," kata penulis utama studi, Dr. Lauren Moran, dalam siaran pers.
Studi ini tidak membuktikan bahwa stimulan secara langsung menyebabkan psikosis, tetapi peneliti menyarankan mungkin ada hubungan biologis antara keduanya.
Hal tersebut mungkin karena stimulan seperti amfetamin meningkatkan kadar dopamin di otak, dan perubahan dopamin ini mirip dengan yang terjadi pada psikosis.
Baca juga: Peneliti kembangkan AI untuk deteksi dini risiko psikosis
Dikutip dari Medical Daily, Sabtu, ADHD adalah gangguan neurodevelopmental yang memengaruhi kemampuan untuk mempertahankan fokus, tetap tenang, dan mengatur dorongan.
Gejala ADHD sering mengganggu aktivitas sehari-hari, kinerja akademik, dan interaksi sosial. Kondisi ini umumnya didiagnosis pada anak-anak, tetapi karena tidak ada pencegahan atau obat, bisa berlanjut hingga dewasa dan manifestasinya berubah seiring bertambahnya usia.
Pengobatannya melibatkan kombinasi terapi, pelatihan orang tua dalam manajemen perilaku, serta penggunaan obat stimulan dan non-stimulan.
Baca juga: Anak dengan ADHD perlu terapi perilaku untuk cegah perundungan
Penggunaan stimulan untuk pengobatan ADHD telah meningkat dalam dekade terakhir, terutama selama pandemi COVID-19.
Studi sebelumnya telah menunjukkan hubungan antara penggunaan amfetamin dan peningkatan risiko psikosis.
Dalam studi terbaru, peneliti mengeksplorasi bagaimana berbagai dosis memengaruhi risiko ini.
Individu yang terlibat dalam studi adalah pasien yang dirawat di fasilitas kesehatan mental Mass General Brigham, McLean Hospital, untuk psikosis atau mania antara 2005 dan 2019.
Baca juga: Dokter sebut hiperaktif bisa diturunkan dari orangtua
Semua pasien berusia antara 16 dan 35 tahun, usia umum terjadinya psikosis dan mania. Dari kasus-kasus ini, terdapat 1.374 kasus psikosis episode pertama.
Berdasarkan data kesehatan, peneliti melakukan analisis komparatif penggunaan stimulan selama sebulan terakhir sambil mempertimbangkan faktor lain seperti penggunaan zat.
Pendekatan itu membantu mereka memisahkan efek stimulan terhadap kondisi pasien.
Temuan yang diterbitkan dalam American Journal of Psychiatry menunjukkan bahwa individu yang menggunakan amfetamin resep dalam sebulan terakhir lebih mungkin mengalami psikosis atau mania yang baru dibandingkan dengan mereka yang tidak menggunakannya.
Baca juga: Manfaat salmon, tingkatkan kesehatan jantung hingga cegah ADHD
Risiko tertinggi ditemukan pada individu yang mengonsumsi 30 mg atau lebih dextroamphetamine, yang setara dengan 40 mg adderall.
Sementara risiko psikosis pada peserta yang terpapar amfetamin resep ditemukan sebesar 63 persen, penggunaan amfetamin dosis tinggi terkait dengan risiko 81 persen.
Hal itu berarti bahwa di antara mereka yang menggunakan amfetamin, 81 persen kasus psikosis atau mania dapat dihindari jika tidak menggunakan dosis tinggi.
Baca juga: Video game sebagai "obat digital" anak berkebutuhan khusus
"Obat stimulan tidak memiliki batas dosis atas pada labelnya, dan hasil kami menunjukkan bahwa dosis adalah faktor dalam risiko psikosis dan harus menjadi pertimbangan utama saat meresepkan stimulan. Ini adalah efek samping yang jarang tetapi serius yang harus dipantau oleh pasien dan dokter mereka setiap kali obat ini diresepkan," kata penulis utama studi, Dr. Lauren Moran, dalam siaran pers.
Studi ini tidak membuktikan bahwa stimulan secara langsung menyebabkan psikosis, tetapi peneliti menyarankan mungkin ada hubungan biologis antara keduanya.
Hal tersebut mungkin karena stimulan seperti amfetamin meningkatkan kadar dopamin di otak, dan perubahan dopamin ini mirip dengan yang terjadi pada psikosis.
Baca juga: Peneliti kembangkan AI untuk deteksi dini risiko psikosis
Penerjemah: Putri Hanifa
Editor: Siti Zulaikha
Copyright © ANTARA 2024
Tags: