Jakarta (ANTARA) -
Pacaran telah menjadi fenomena umum di kalangan masyarakat modern, termasuk di sebagian kalangan umat Islam. Namun, bagaimana hukum pacaran dalam pandangan Islam?

Menurut Kamus Bahasa Indonesia (Purwodarminto, 1976), pacaran memiliki beberapa makna. Pertama, pacaran diartikan sebagai pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan untuk bersenang-senang sesuai keinginan mereka.

Kedua, pacaran diidentikkan dengan "bergendak," yang berarti berkencan atau berpasangan untuk tujuan berzina.

Ketiga, pacaran dapat diartikan sebagai hubungan pertemanan untuk saling menjajaki kemungkinan mencari jodoh, baik suami maupun istri.

Dalam syariat Islam, konsep pacaran seperti yang dikenal saat ini tidak dijelaskan secara spesifik. Namun, mayoritas ulama sepakat bahwa interaksi bebas antara laki-laki dan perempuan tanpa ikatan pernikahan dilarang.

Larangan ini didasarkan pada ajaran Al-Qur'an dan Hadis yang menekankan pentingnya menjaga kehormatan, kesucian, dan menjauhi tindakan yang mendekati zina.

Secara prinsip, pacaran sebagai bentuk sosialisasi diperbolehkan selama tidak mengarah pada tindakan yang dilarang oleh syariat. Namun, pacaran yang dapat mendekati perzinahan dilarang. Hal ini dijelaskan dalam surat Al-Isra’ ayat 32. Allah SWT berfirman:

وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلاً

Wa laa taqrabuu az-zinaa, innahu kaana faahishatan wasaa'a sabiilaa

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk

Hal ini sejalan dengan hadits Rasulullah SAW yang menjelaskan berbagai tindakan yang dapat membawa seseorang mendekati perzinahan.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ وَلاَ تُسَافِرَنَّ امْرَأَةٌ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ ( رواه البخاري)

An Ibn ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu annahu sami’a an-nabiyya shallallahu ‘alaihi wa sallam yaqul, laa yakhluwanna rajulun b-imra’atin wa laa tusafiranna imra’ah illa wa ma’aha mahram. (Riwayat Al-Bukhari)

Dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw berkhutbah, ia berkata: Jangan sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang perempuan kecuali beserta ada mahramnya, dan janganlah seorang perempuan melakukan musafir kecuali beserta ada mahramnya.

Hal ini mempertegas bahwa dalam Islam, segala bentuk hubungan antara pria dan wanita yang bukan mahram harus diawasi dan dibatasi. Namun, Islam tidak melarang umatnya untuk saling mengenal sebelum menikah (ta'aruf).

Proses ta'aruf diperbolehkan asalkan dilakukan dalam pengawasan keluarga atau pihak ketiga, serta sesuai dengan prinsip-prinsip syariat. Pacaran dengan interaksi bebas antara pria dan wanita tanpa ikatan pernikahan tidak sejalan dengan ajaran Islam. Umat Islam dianjurkan menjalin hubungan yang lebih islami dan beretika, melalui proses ta'aruf yang lebih terjaga.

Dengan demikian, segala bentuk pacaran tidak dapat dibenarkan, kecuali dalam konteks khitbah, yang hanya memperbolehkan seorang pria melihat wajah dan telapak tangan seorang wanita. Artinya, tidak boleh ada interaksi lebih dari sekadar melihat wajah dan telapak tangan, terbatas pada masa khitbah, dan tidak melebihi pandangan tersebut.