Jakarta (ANTARA News) - Tewasnya Renggo Khadafi (11 tahun) kian menambah daftar kelam cerita nyata premanisme yang terjadi pada anak-anak.
Namun kekerasan yang menimpa Renggo tidak biasa terjadi lantaran kematian anak asuh Yessi Puspa Dewi (31) itu diduga bukan disebabkan oleh seorang dewasa melainkan kakak kelas yang usianya hampir sepantaran berinisial SY (13).
Renggo sendiri sebelum menghembuskan nafas terakhirnya masih tercatat sebagai siswa kelas lima SD Makasar 09 Pagi, Jakarta Timur. Namun malang baginya, maut merenggut berawal dari penganiayaan oleh kakak kelasnya karena masalah sepele. Insiden bermula dari Renggo yang menyenggol sang senior sampai es krim yang sedang dipegang SY terjatuh.
Sontak, dari senggolan itu cerita muram premanisme muncul dari si kakak kelas kepada juniornya karena merasa masih ada amarah tersisa meski telah menerima ganti rugi dari Renggo. SY lantas membututi Renggo dan melakukan penganiayaan di salah satu tempat di sekolah.
SY seperti sedang mempraktekkan tindakan laksana preman lantaran murid sekolah dasar belasan tahun itu entah sengaja atau tidak telah menghilangkan nyawa seorang anak kecil lainnya. Bahkan penganiayaannya itu seperti terencana bak pembunuh yang sedang balas dendam. SY gelap mata karena tersenggol Renggo.
Meski begitu, pemerhati masalah anak Seto Mulyadi atau Kak Seto berpendapat penganiayaan semacam itu harus dipandang obyektif.
Menurut psikolog itu, SY masih belasan tahun atau di bawah umur. Ada kemungkinan anak kelas enam SD itu menjadi korban lingkungan keluarga atau tempat bermain sehingga menganiaya adik kelasnya.
Kak Seto mengatakan orang tua SY harus bertanggungjawab atas perbuatan anaknya.
"Anak-anak itu adalah korban. Anak-anak adalah peniru yang baik seperti meniru dari tontonan film, lingkungan keluarga dan atau lingkungan bermainnya. Mungkin dia mendapati tekanan berat. Bisa juga karena tekanan padatnya jadwal pelajaran, guru galak atau bully," kata Kak Seto.
Menurut pencipta karakter Si Komo itu, sejumlah faktor tersebut dapat memicu frustasi anak dan tindakan di luar perkiraan nalar.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Dosen Indonesia Saleh Partaonan Daulay mengatakan meninggalnya Renggo menambah catatan buruk dunia pendidikan Indonesia.
"Dulu kita gelisah karena ada tawuran antarmahasiswa dan antarsiswa SMA/SMK. Hari ini pelaku tindak kekerasan justru dilakukan anak-anak di bawah umur," kata Saleh.
"Selain memprihatinkan, kasus ini juga sangat mencemaskan dan mengkhawatirkan para orang tua. Bisa jadi mereka tidak tenang melepas anaknya untuk berangkat sekolah," katanya.
Menurut Saleh, fenomena kekerasan seperti itu menjadi potret buram pengelolaan pendidikan Indonesia.
Sekolah Disalahkan
SD 09 Makasar belakangan menjadi sorotan publik karena menjadi lokasi penganiayaan Renggo. Meski di sekolah tersebut bukan lokasi meninggalnya Renggo tetapi di area itulah si anak 11 tahun tersebut diduga mendapati sejumlah bogem mentah dari kakak kelasnya. Bahkan tanpa SY sangka penganiayaan yang diperbuatnya sampai merenggut hidup si adik kelas.
Salah satu contoh bagaimana sekolah justru disalahkan adalah seperti pernyataan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo.
Jokowi mengatakan kepala sekolah SD 09 Makassar Sri Hartini akan dicopot menyusul meninggalnya Renggo. "Kepala sekolah sebagai pimpinan di sekolah itu harus bertanggung jawab. Pencopotan ini adalah bentuk pembinaan," katanya.
Menurutnya, pendidikan karakter seharusnya dimulai dari keluarga dan sekolah. Pendidikan karakter harus bisa membuat peserta didik tidak arogan dan tidak mudah marah.
Mengenai waktu pencopotan kepsek SD Jokowi mengatakan akan menyerahkan perihal itu kepada Dinas Pendidikan DKI Jakarta.
Mantan Wali Kota Solo itu juga mengatakan kejadian tersebut disebabkan adanya kelalaian serta kurangnya pengawasan dari pihak sekolah lantaran insiden itu terjadi di sekolah.
"Peristiwa itu terjadi di sekitar lingkungan sekolah. Sehingga yang paling bertanggung jawab atas kejadian tersebut adalah pihak sekolah," kata Jokowi.
"Manajemen kontrol itu ada pada siapa? Harus bertanggung jawab. Begitu juga dengan manajemen personalianya, harus ikut tanggung jawab. Pihak sekolah kan merupakan pihak yang paling dekat," kata Jokowi.
Pernyataan berbeda dilontarkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh yang mengatakan tewasnya Renggo belum tentu murni kesalahan sekolah terkait.
"Kekerasan anak terhadap Renggo itu belum tentu terkait dengan sekolah bersangkutan. Bisa juga terkait dengan si pelaku berasal dari kampung mana, anak Kampung Makasar?," kata M Nuh.
Dia mengatakan, terlepas dari justifikasi itu terdapat sebuah tantangan besar terlebih di dalam dunia pendidikan.
"Inilah tantangan berat bagi dunia pendidikan dan masyarakat luas. Kami terus berupaya agar dunia pendidikan meningkat kualitasnya dan memberi sumbangsih terhadap baiknya budi pekerti anak," kata dia.
Kualitas itu, masih kata mendikbud, terdiri dari baik tidaknya tiga aspek kompetensi bagi murid didik di bangku sekolah.
"Dari urusan kualitas itu kami ukur dengan tiga ranah kompetensi yaitu ranah kompetensi pengetahuan, keterampilan dan sikap. Dan urusan yang paling berat itu adalah sikap."
"Oleh karena itu, mengapa mulai tiga tahun yang lalu kami berdebat panjang tentang pendidikan karakter dan akhirnya dirumuskan dalam kurikulum 2013," katanya.
Menurutnya, Kemdikbud sebagai pemangku kepentingan untuk kebijakan pendidikan berupaya memperkuat pendidikan untuk sikap dan karakter yang baik bagi murid.
"Agama dan budi pekerti yang tadinya hanya dua jam kami tambah menjadi empat jam karena disadari betul perkara budi pekerti dan sikap itu terkait perilakunya termasuk interaksi sosialnya," katanya. (*)
Sepenggal cerita premanisme anak dari tewasnya Renggo
8 Mei 2014 01:23 WIB
Foto alm. Renggo Khadafi (11) dibawa ketrabatnya seusai pemakaman di TPU Kampung Asem, Makasar, Jakarta Timur, Minggu (4/5). Renggo merupakan siswa SD Negeri 09, Kampung Makasar, Jaktim, meninggal dunia saat dalam perjalanan menuju RS. Polri karena diduga dipukuli tiga siswa kakak kelasnya. (ANTARA FOTO/Wibowo Armando/RN/ss/Spt/14). ()
Oleh Anom Prihantoro
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014
Tags: