Bamsoet dorong MPR periode 2024-2049 kaji mendalam UUD NRI 1945
13 September 2024 00:16 WIB
Ketua MPR RI Bambang Sosatyo dalam acara Sosialisasi Empat Pilar MPR RI bersama Yayasan Jimly School of Law dan mahasiswa lintas kampus di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (12/9/2024). (ANTARA/HO-MPR)
Jakarta (ANTARA) - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menyebut bahwa MPR pada periodenya mendorong agar dilakukannya kajian mendalam terhadap UUD Negara Republik Indonesia (NRI) Tahun 1945 oleh MPR periode selanjutnya.
"Dalam salah satu rekomendasi MPR 2019-2024 kepada MPR periode 2024-2029, juga akan memuat tentang pentingnya dilakukan kajian mendalam dan menyeluruh terhadap UUD NRI Tahun 1945," kata Bamsoet, sapaan karibnya, dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis.
Hal itu disampaikannya dalam acara Sosialisasi Empat Pilar MPR RI bersama Yayasan Jimly School of Law dan mahasiswa lintas kampus di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis.
Dia menyebut terdapat banyak hal yang perlu dibenahi, mulai dari sejauh mana efektivitas penerapan pilkada langsung dalam demokrasi Pancasila, hingga langkah untuk menekan politik uang dan politik berbiaya tinggi dalam pemilu langsung.
"Pergeseran dari sistem keterwakilan ke sistem keterpilihan inilah yang menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan negara terjebak pada kekuasaan oligarki. Praktik penyelenggaraan memang sudah lebih berorientasi pada demokrasi dan hukum, namun mengabaikan pembangunan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama. Tidak heran jika kini banyak kalangan mengusulkan adanya perubahan kelima terhadap konstitusi," katanya.
Dia menuturkan bahwa mekanisme pilkada dan pileg sendiri berbeda dengan pilpres. Dalam UUD NRI 1945, presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat, pilkada dipilih secara demokratis, dan pileg dipilih melalui pemilihan umum.
"Kita perlu mengkaji tafsir terhadap konstitusi tersebut, apakah bisa mengembalikan pemilihan kepala daerah melalui DPRD, serta pileg dengan sistem tertutup seperti dahulu. Atau mengkombinasikannya dengan sistem terbuka dan tertutup sehingga meminimalisir terjadinya korupsi, money politic, dan high cost politic," ujarnya.
Dengan demikian, lanjut dia, bisa menyelamatkan demokrasi Pancasila agar tidak terjebak dalam demokrasi "angka-angka" yang bisa menjurus kepada demokrasi komersialisasi dan kapitalisasi, serta oligarki.
Dia menegaskan perubahan zaman adalah keniscayaan yang tak dapat dihindarkan sehingga konstitusi tidak boleh anti terhadap perubahan. Bahkan, Amerika Serikat telah 27 kali amendemen dan India telah 104 kali amendemen.
Dia lantas mengutip pemikiran progresif Presiden Pertama RI Soekarno bahwa konstitusi harus fleksibel dan responsif terhadap perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang terjadi di masa depan.
"Dalam pidatonya pada Sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945, Bung Karno menegaskan bahwa UUD dapat diubah oleh generasi yang akan datang jika dirasa perlu. Dalam pandangan Bung Karno, UUD bukanlah sesuatu yang tidak dapat diubah, melainkan sebuah landasan yang dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan bangsa," kata dia.
Pada kesempatan tersebut turut hadir di antaranya, Ketua Forum Aspirasi Konstitusi sekaligus anggota MPR/DPD RI Jimly Ashiddiqie, hingga Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun.
"Dalam salah satu rekomendasi MPR 2019-2024 kepada MPR periode 2024-2029, juga akan memuat tentang pentingnya dilakukan kajian mendalam dan menyeluruh terhadap UUD NRI Tahun 1945," kata Bamsoet, sapaan karibnya, dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis.
Hal itu disampaikannya dalam acara Sosialisasi Empat Pilar MPR RI bersama Yayasan Jimly School of Law dan mahasiswa lintas kampus di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis.
Dia menyebut terdapat banyak hal yang perlu dibenahi, mulai dari sejauh mana efektivitas penerapan pilkada langsung dalam demokrasi Pancasila, hingga langkah untuk menekan politik uang dan politik berbiaya tinggi dalam pemilu langsung.
"Pergeseran dari sistem keterwakilan ke sistem keterpilihan inilah yang menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan negara terjebak pada kekuasaan oligarki. Praktik penyelenggaraan memang sudah lebih berorientasi pada demokrasi dan hukum, namun mengabaikan pembangunan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama. Tidak heran jika kini banyak kalangan mengusulkan adanya perubahan kelima terhadap konstitusi," katanya.
Dia menuturkan bahwa mekanisme pilkada dan pileg sendiri berbeda dengan pilpres. Dalam UUD NRI 1945, presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat, pilkada dipilih secara demokratis, dan pileg dipilih melalui pemilihan umum.
"Kita perlu mengkaji tafsir terhadap konstitusi tersebut, apakah bisa mengembalikan pemilihan kepala daerah melalui DPRD, serta pileg dengan sistem tertutup seperti dahulu. Atau mengkombinasikannya dengan sistem terbuka dan tertutup sehingga meminimalisir terjadinya korupsi, money politic, dan high cost politic," ujarnya.
Dengan demikian, lanjut dia, bisa menyelamatkan demokrasi Pancasila agar tidak terjebak dalam demokrasi "angka-angka" yang bisa menjurus kepada demokrasi komersialisasi dan kapitalisasi, serta oligarki.
Dia menegaskan perubahan zaman adalah keniscayaan yang tak dapat dihindarkan sehingga konstitusi tidak boleh anti terhadap perubahan. Bahkan, Amerika Serikat telah 27 kali amendemen dan India telah 104 kali amendemen.
Dia lantas mengutip pemikiran progresif Presiden Pertama RI Soekarno bahwa konstitusi harus fleksibel dan responsif terhadap perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang terjadi di masa depan.
"Dalam pidatonya pada Sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945, Bung Karno menegaskan bahwa UUD dapat diubah oleh generasi yang akan datang jika dirasa perlu. Dalam pandangan Bung Karno, UUD bukanlah sesuatu yang tidak dapat diubah, melainkan sebuah landasan yang dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan bangsa," kata dia.
Pada kesempatan tersebut turut hadir di antaranya, Ketua Forum Aspirasi Konstitusi sekaligus anggota MPR/DPD RI Jimly Ashiddiqie, hingga Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun.
Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2024
Tags: